Saturday, February 12, 2011

PERMENKES 149 DENGAN KRITIKAN

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/149/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan merupakan revisi dari Kepmenkes 900.Terdiri dari VII Bab, 24 Pasal, yaitu: Bab I Ketentuan Umum (pasal 1), Bab II Perizinan (pasal 2-7), Bab III Penyelenggaraan Praktik (pasal 8-19), Bab IV Pembinaan dan Pengawasan (pasal 20-21), Bab V Ketentuan Peralihan (pasal 22), Bab VII Ketentuan Penutup (pasal 23-24). Akan tetapi, Permenkes 149 ini nampak lebih singkat daripada Kepmenkes 900. Didalamnya terdapat banyak pengurangan dan beberapa penambahan aturan tentang pelaksanaan praktik bidan yang selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.

1.2.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini ialah sebagai berikut:
1.      Agar mahasiswa dapat meningkatkan kesadaran mengenai hukum yang mengatur segala tindakan yang berhubungan dengan pemberian asuhan untuk melatih diri menjadi calon bidan yang sadar dan taat hukum,
2.      Agar mahasiswa dapat mengetahui beberapa revisi dari peraturan pemerintah dalam membatasi atau mengawasi kegiatan bidan sesuai kewenangan bidan yang terbaru,
3.      Agar mahasiswa dapat mengkritisi beberapa peraturan kewenangan bidan yang baru dimatangkan namun dapat merugikan profesi bidan atau dengan kata lain sangat membatasi tindakan bidan dalam melakukan asuhan yang komprehensif,
4.      Agar mahasiswa mampu mengetahui latar dibuatnya atau diberlakukannya peraturan kewenangan bidan terbaru,
5.      Agar mahasiswa mengetahui bagaimana alur registrasi menjadi seorang bidan yang diakui secara hukum.
6.      Agar mahasiswa dapat meng-update hukum yang berlaku mengenai kebidanan dimasa kini.     

1.3.Manfaat Penulisan
Adapun beberapa manfaat dari penulisan makalah ini ialah sebagai berikut:
1.      Mahasiswa dapat meningkatkan kesadaran mengenai hukum yang mengatur segala tindakan yang berhubungan dengan pemberian asuhan untuk melatih diri menjadi calon bidan yang sadar dan taat hukum,
2.      Mahasiswa dapat mengetahui beberapa revisi dari peraturan pemerintah dalam membatasi atau mengawasi kegiatan bidan sesuai kewenangan bidan yang terbaru,
3.      Mahasiswa dapat mengkritisi beberapa peraturan kewenangan bidan yang baru dimatangkan namun dapat merugikan profesi bidan atau dengan kata lain sangat membatasi tindakan bidan dalam melakukan asuhan yang komprehensif,
4.      Mahasiswa mampu mengetahui latar dibuatnya atau diberlakukannya peraturan kewenangan bidan terbaru,
5.      Mahasiswa mengetahui bagaimana alur registrasi menjadi seorang bidan yang diakui secara hukum.
6.      Mahasiswa dapat meng-update hukum yang berlaku mengenai kebidanan dimasa kini.    


1.4.Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini ialah dengan studi literatur.

BAB II

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.02.02/MENKES/149/2010
TENTANG
IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1)   Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2)   Fasilitas pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
3)   Surat Izin Praktek Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik kebidanan.
4)   Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi dan standar operasional prosedur.
5)   Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada tenaga kesehatan yang memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
6)   Obat Bebas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
7)   Obat Bebas Terbatas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna biru yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
8)   Organisasi Profesi adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI)

BAB II
PERIZINAN

Pasal 2

1)   Bidan dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan
2)   Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktek mandiri dan/atau praktik mandiri
3)   Bidan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal Diploma III (D III) kebidanan.

Pasal 3

1)   Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki SIPB
2)   Kewajiban memiliki SIPB dikecualikan bagi bidan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri atau Bidan yang menjalankan tugas pemerintah sebagai Bidan Desa.

Pasal 4

1)   SIPB sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.
2)   SIPB berlaku selama STR masih berlaku.


Pasal 5

1)   Untuk memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, bidan harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan melampirkan:
a. Fotocopi STR yang masih berlaku dan dilegalisir
b. Surat keterangan sehat fisik dari Dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d. Pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 sebanyak 3 (tiga ) lembar; dan
e. Rekomendasi dari Organisasi Profesi
2)   Surat permohonan memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana tercantum dalam Formulir I (terlampir)
3)   SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat praktik.
4)   SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Formulir II terlampir

Pasal 6

1)   Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi tempat praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan
2)   Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran peraturan ini.
3)   Dalam menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan wajib memasang nama praktik kebidanan

Pasal 7

SIPB dinyatakan tidak berlaku karena:
a.    Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB
b.    Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
c.    Dicabut atas perintah pengadilan
d.   Dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi
e.    Yang bersangkutan meninggal dunia

BAB III
PENYELENGGARAAN PRAKTIK

Pasal 8

Bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan meliputi:
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat

Pasal 9

1)   Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a ditujukan kepada ibu dan bayi
2)   Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas dan masa menyusui.
3)   Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan) hari.

Pasal 10
1)   Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. Penyuluhan dan konseling
b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan persalinan normal
e. Pelayanan ibu nifas normal
2)   Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir
b. Perawatan tali pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi pada bayi baru lahir
e. Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah; dan
f. Pemberian penyuluhan

Pasal 11

Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a berwenang untuk:
a.    Memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah
b.    Bimbingan senam hamil
c.    Episiotomi
d.   Penjahitan luka episiotomy
e.    Kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
f.     Pencegahan anemia
g.    Inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
h.    Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
i.      Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
j.      Pemberian minum dengan sonde/pipet
k.    Pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan manajemen aktif kala III;
l.      Pemberian surat keterangan kelahiran
m.  Pemberian surat keterangan hamil untuk keperluan cuti melahirkan

Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b, berwenang untuk;
 a.         Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka menjalankan tugas pemerintah, dan kondom;
b.         Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dengan supervisi dokter;
 c.         Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi
d.         Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah; dan
 e.         Memberikan konseling dan tindakan pencegahan kepada perempuan pada masa pranikah dan prahamil.

Pasal 13

Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf c, berwenang untuk:
 a.         Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi;
b.         Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan
 c.         Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan Infeksi Menular Seksual (IMS), penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) serta penyakit lainnya.

Pasal 14

1)   Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
2)   Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
3)   Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
4)   Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat dokter, kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.

Pasal 15

1)   Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter.
2)   Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai dengan modul Modul Pelatihan yang ditetapkan oleh Menteri.
3)   Bidan yang lulus pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh sertifikat.

Pasal 16

Pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan Bidan dengan pendidikan Diploma III kebidanan atau bidan dengan pendidikan Diploma I kebidanan yang telah mengikuti pelatihan.

Pasal 17

Bidan dalam menjalankan praktik harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.


Pasal 18

1)   Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:
a.    Menghormati hak pasien
b.    Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu.
c.    Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.   Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
e.    Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan;
f.     Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis;
g.    Mematuhi standar; dan
h.    Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahirana dan kematian.
2)   Bidan dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.

Pasal 19

Dalam melaksanakan praktik, bidan mempunyai hak:
a.    Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik sepanjang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan;
b.   Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan atau keluarganya;
c.    Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi dan standar pelayanan; dan
d.   Menerima imbalan jasa profesi.
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 20

1)   Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan dan mengikutsertakan organisasi profesi.
2)   Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.

Pasal 21

1)   Dalam rangka melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini.
2)   Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pencabutan SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau
d. Pencabutan SIPB selamanya.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN




Pasal 22

1)   SIPB yang dimiliki Bidan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan masih tetap berlaku sampai masa SIPB berakhir.
2)   Pada saat peraturan ini mulai berlaku, SIPB yang sedang dalam proses perizinan, dilaksanakan sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 23

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan sepanjang yang berkaitan dengan perizinan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 24

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 27 Januari 2010

Menteri,


Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR, PH


BAB III
PEMBAHASAN


1.1.Kritisasi Substansi Permenkes No.149/2010
Kenyataan mengenai keputusan pemerintah dalam memangkas beberapa kewenangan bidan Indonesia menuai begitu banyak asumsi. Banyak yang sangat menyayangkan tindakan pemerintah yang dinilai begitu ekstrim mengubah batasan kewenangan bidan. Adapun alasan dipangkasnya kewenangan bidan dalam memberi asuhan pada ibu dan anak yaitu pemerintah ingin melakukan pemisahan antara tindakan medis dan non medis yang selama ini dapat dilakukan oleh bidan. Maksud PB IDI adalah untuk menata dari hulunya ( kembali kepada kittahnya masing-masing ), PB-IDI mengatakan jika tindakan medis harus dikerjakan oleh dokter. Dalam hal ini yang berkaitan dengan injeksi adalah termasuk tindakan medis jadi konsekuensinya suntik KB menjadi kewenangan dokter. Alasan lainnya, selama ini banyak kewenangan / tindakan medis yang dilimpahkan kepada bidan, tetapi ternyata angka kematian ibu di Indonesia masih tertinggi se-ASEAN padahal negara lain yang merdekanya lebih belakangan memiliki AKI dan AKB yang rendah.
Dapat disimpulkan bahwa salah satu akar permasalahannya adalah Indonesia tidak pernah memberdayakan dokter umum menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan. Jika diaudit, faktor utama penyebab kematian ibu dan bayi bukan seluruhnya kesalahan bidan dalam memberikan asuhan, namun ada beberapa masalah seperti ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan yang masih minim dan menjadi masalah di kementerian kesehatan Indonesia. Selain itu juga, bukan hanya tindakan medis yang menjadi satu-satunya penyebab terbesar kematian ibu dan bayi, masalah sosial-ekonomi masyarakat menengah ke bawah juga menjadi salah satu faktor besar dalam kematian ibu dan bayi jika banyak masyarakat lambat dalam mengambil keputusan ketika dalam keadaan kegawatdaruratan. Karena dalam praktiknya, sulit bagi bidan memaksakan kehendak untuk tetap melakukan tindakan rujukan yang pada akhirnya angka kematian ibu bertambah karena tidak dapat melangkahi keputusan keluarga yang sangat tidak dapat menerima konseling bidan.
Dari  Permenkes no.149/2010 (izin dan praktik bidan terbaru) ada beberapa pasal dan ayat yang dikritisi, diantaranya adalah:
1.      Pasal 1 ayat 6
Obat Bebas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
Kritikan: Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/ Menkes/ SK/ VII/ 2002 poin 6 pada pasal ini tidak dicantumkan, menurut kami alangkah lebih baik dan jelas jika ketentuan jenis obat ini dimasukkan dalam undang-undang yang membahas tentang farmasi/obat-obatan karena kurang ada kaitannya dengan proses perizinan dan registrasi bidan serta lebih baik jika maksud dicantumkannya pengertian dari obat bebas.   
2.      Pasal 1 ayat 7
Obat Bebas Terbatas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna biru yang dapat diperoleh tanpa resep dokter.
Kritikan: Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/ Menkes/ SK/ VII/ 2002 poin 6 pada pasal ini tidak dicantumkan, menurut kami alangkah lebih baik dan jelas jika ketentuan jenis obat ini dimasukkan dalam undang-undang yang membahas tentang farmasi/obat-obatan lebih baik jika maksud dicantumkannya pengertian dari obat bebas terbatas.
3.      Pasal  9 ayat 3
Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan) hari.
Kritikan: Menurut kelompok kami, ketentuan ini masih belum jelas karena pada pasal 9 ayat 3 menyebutkan bahwa pelayanan kebidanan diberikan pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan) hari, namun pada pasal 10 ayat 2e bidan memberikan imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah, sedangkan pemberian imunisasi dasar memerlukan waktu hingga usia bayi 9 bulan. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/ Menkes/ SK/ VII/ 2002 pasal 15 poin 3 mencantumkan bahwa pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru lahir, masa bayi, masa anak balita dan masa pra sekolah.
4.      Pasal 10 ayat 1
Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. Penyuluhan dan konseling
b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan persalinan normal
e. Pelayanan ibu nifas normal
Kritikan : Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/ Menkes/ SK/ VII/ 2002 pasal poin d, f, h, i, bidan mempunyai wewenang untuk memberikan pelayanan pada keadaan abnormal tertentu yang masih ringan namun pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia  Nomor Hk.02.02/Menkes/149/1/2010 bidan tidak lagi mempunyai kewenangan tersebut padahal untuk bidan desa bidan bisa dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan bidan memberi asuhan pada kondisi tersebut.
5.      Pasal 10 ayat 2
Pelayanan kebidanan kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir
b. Perawatan tali pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi pada bayi baru lahir
e. Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah; dan
f. Pemberian penyuluhan
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/ Menkes/ SK/ VII/ 2002 pasal 16 poin 2e, disebutkan bahwa bidan mempunyai kewenangan untuk memantau tumbuh kembang anak. 
6.      Pasal 11 poin d
Penjahitan luka episiotomi
Kritikan:Seharusnya lebih diperjelas batasan tingkat luka yang merupakan kewenangan bidan untuk melakukan penjahitan luka episiotomi.
7.      Pasal 12 poin a
Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim dalam rangka menjalankan tugas pemerintah, dan kondom;
Kritikan:akan lebih jelas jika redaksi dari pasal 12a ini mencantumkan tempat dimana bidan dapat memberikan pelayanan alat kontrasepsi oral dan suntikan.
8.      Pasal 13 poin a
Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi
Kritikan : menurut kami, pembinaan yang dilakukan oleh bidan tidak hanya dilakukan untuk ibu dan bayi, tapi untuk balita juga.
9.      Pasal 14 ayat 1 dan 2
a.    Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
b.    Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
Kritikan : kami setuju dengan pasal ini, asal sesuai dengan kompetensi yang bidan tersebut miliki karena terkadang ada pasien yang kondisinya sudah tidak mungkin lagi ditolak pihak bidan. Misalnya saja pasien dengan kondisi hamil kembar yang pembukannya sudah lengkap sementara tempat rujukan yang tersedia sangat jauh.
10.  Pasal 15 ayat 1
Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter.
Kritikan : pasal ini mendukung peningkatan kualitas pelayanan kebidanan dan kesehatan dasar bagi bidan. Tapi disini kurang dijelaskan pelatihan seperti apa yang bisa didapatkan oleh bidan.
11.  Pasal 16
Pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan Bidan dengan pendidikan Diploma III kebidanan atau bidan dengan pendidikan Diploma I kebidanan yang telah mengikuti pelatihan.
Kritikan : tidak dijelaskan pelatihan seperti apa yang harus dilakukan dan diikuti bidan agar “dianggap” setara dengan bidan yang menempuh pendidikan DIII.
12.  Pasal 21 ayat 2
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pencabutan SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau
d. Pencabutan SIPB selamanya.
Kritikan : Tidak dijelaskan secara rinci pembagian hal yang bisa menyebabkan bidan mendapatkan tindakan administratif diatas tersebut.












Kritikan keseluruhan:
1.      Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/ Menkes/ SK/ VII/ 2002 terdapat pasal 17 yang berisi tentang kewenangan bidan untuk dapat memberikan pelayanan pengobatan pada penyakit ringan bagi ibu dan anak sesuai dengan kemampuannya jika tidak terdapat dokter yang berwenang pada suatu wilayah, dengan tidak adanya kewenangan ini bidan akan merasa sulit untuk menentukan tindakan apabila dihadapkan pada kondisi tersebut.
2.      Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia  Nomor Hk.02.02/Menkes/149/1/2010 banyak kewenangan bidan yang dalam Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/ Menkes/ SK/ VII/ 2002 dihilangkan dan  seolah-olah bidan tidak kompeten.    

BAB IV
PENUTUP


4.1 Kesimpulan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/149/2010 ini membahas Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan dan Merupakan revisi dari Kepmenkes 900. Aturan ini dibuat untuk mempertegas batasan apa saja yang bisa dilakukan oleh bidan dan apa saja yang menjadi kewenangan bidan sebagai tenaga kesehatan.

4.2 Saran
Dari sekian pasal yang telah ditulis, masih ada beberapa pasal dan ayat yang masih kurang dijelaskan secara terperinci. Oleh karena itu, menurut kami perlu adanya penjelasan tertulis yang menjabarkan rincian dari inti pasal-pasal tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk mempertegas batasan-batasan yang ada dan tidak membuat ambigu opini tiap orang yang membaca pasal-pasal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia  Nomor Hk.02.02/
Menkes/149/1/2010
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/ Menkes/ SK/ VII/ 2002




No comments:

Post a Comment