Saturday, February 12, 2011

MANAJEMEN AKTIF KALA 3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Periode kala III persalinan dimulai saat proses lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta. Komplikasi utama yang terkait dengan periode ini adalah perdarahan postpartum (PPH), yang merupakan penyebab paling umum dari morbiditas dan kematian ibu di negara-negara berkembang. Bahkan di negara maju, meskipun angka kematian ibu jauh lebih rendah, PPH tetap menjadi perhatian utama. Peristiwa ini dilatarbelakangi kejadian tromboemboli dan penyakit hipertensi sebagai penyebab umum kematian ibu pada wanita yang kehamilannya berlanjut setelah 20 minggu. Periode postpartum sangat dini ini berhubungan dengan komplikasi ibu dari perdarahan, perpindahan cairan, dan emboli. Perdarahan pasca partum masih menjadi salah satu dari tiga penyebab utama kematian ibu secara global. Meskipun mayoritas (99%) kematian dilaporkan terjadi di Negara berkembang, risiko perdarahan postpartum tidak boleh diremehkan pada setiap kelahiran, atau tidak hanya itu, potensi kala III persalinan menjadi kala persalinan yang paling berbahaya juga tidak boleh diremehkan.  Selama kala ini, fokus dan perasaan emosional serta kelegaan fisik ibu sering kali berubah secara spontan dari kelelahan konsentrasi terhadap kelahiran yang actual menjadi eksplorasi dan pengenalan terhadap bayinya yang baru lahir.  Untuk memfasilitasi diperolehnya hasil akhir yang aman dan sehat untuk ibu dan bayinya, kesehatan antenatal dan juga persiapan intrapartum, keterampilan, ketekunan, dan keahlian bidan merupakan faktor yang sangat penting.  Data penelitian seringkali lebih jelas tentang beberapa aspek penatalaksanaan kala tiga dibandingkan kala persalinan lainnya.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Manajemen Aktif Kala III persalinan?
2.      Bagaimana proses fisiologis pada kala III persalinan?
3.      Komponen apa saja yang terdapat dalam Manajemen Aktif Kala III persalinan?
4.      Bagaimana penatalaksanaan Manajemen Aktif Kala III persalinan?
5.      Preparat apa saja yang dapat menjadi pengganti oksitosin?
6.      Perbedaan antara Expectant Management dan Active Management dalam penatalaksanaannya?

1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dibuatnya makalah ini ialah sebagai berikut:
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Manajemen Aktif Kala III persalinan
2.      Memahami bagaimana proses fisiologis pada kala III persalinan
3.      Mengetahui komponen apa saja yang terdapat dalam Manajemen Aktif Kala III persalinan
4.      Memahami bagaimana penatalaksanaan Manajemen Aktif Kala III persalinan
5.      Mendapatkam informasi mengenai preparat apa saja yang dapat menjadi pengganti oksitosin serta efek samping masing-masing profilaksis
6.      Mengetahui perbedaan antara Expectant Management dan Active Management dalam penatalaksanaannya

1.4. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini ialah dengan studi pustaka dan searching website.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  .Definisi Manajemen Aktif Kala III 
Manajemen aktif kala III adalah mengupayakan kala III selesai secepat mungkin dengan melakukan langkah-langkah yang memungkinkan plasenta lepas dan lahir lebih cepat. Perdarahan  postpartum merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia; itu terjadi pada sekitar 10,5% dari kelahiran dan tercatat untuk lebih dari 130.000 kematian ibu setiap tahun. Manajemen aktif kala III persalinan sangat efektif untuk mencegah perdarahan postpartum. Dalam peninjauan secara sistematis terhadap uji coba terkontrol secara acak, manajemen aktif kala III persalinan lebih efektif daripada manajemen fisiologis dalam mencegah kehilangan darah, perdarahan postpartum berat (> 500 ml) dan pemanjangan kala III persalinan.  Rutin  menggunakan manajemen aktif kala tiga persalinan untuk semua kelahiran pervaginam di fasilitas kesehatan direkomendasikan oleh Federasi Internasional Ahli Kandungan dan Dokter kandungan (FIGO) dan Konfederasi Internasional Bidan (PTT),  juga oleh WHO. 
Definisi manajemen aktif kala III persalinan bervariasi. Dalam review sistematis pada tujuh negara, definisi MAK III ialah penggunaan obat uterotonika segera setelah kelahiran janin, traksi (penegangan) tali pusat terkendali dan pengkleman serta pemotongan tali pusat. Definisi ICM-FIGO mencakup penggunaan uterotonika segera setelah melahirkan janin, traksi (penegangan) tali pusat terkendali dan masase fundal langsung setelah melahirkan plasenta, diikuti dengan palpasi rahim setiap 15 menit selama 2 jam untuk menilai kebutuhan lebih lanjut untuk masase. kabel penjepit yang dikecualikan berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa manfaat tertunda klem prematur (dan mungkin jangka) bayi. 

2.2  .Proses Fisiologi Kala III
Proses ini merupakan kelanjutan proses dan kekuatan yang bekerja pada kala persalinan sebelumnya. Pemahaman tentang perubahan inilah yang menjadi panduan praktik bagi bidan.  Selama kala tiga, pemisahan dan keluarnya plasenta serta membran terjadi akibat faktor-faktor mekanis dan hemostatik yang saling memengaruhi.  Waktu pada saat plasenta benar-benar terpisah dari dinding uterus dapat bervariasi.  Plasenta dapat terlepas selama kontraksi ekspulsif akhir yang menyertai kelahiran bayi atau tetap melekat sampai beberapa waktu.  Kala tiga biasanya berlangsung antara 5-15 menit, tetapi periode hingga satu jam masih dianggap dalam batas normal.
Pada kala tiga persalinan, otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti penyusutan volume rongga uterus setelah lahirnya bayi.  Penyusutan ukuran ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat perlekatan plasenta.  Karena tempat perlekatan menjadi semakin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah maka plasenta akan terlipat, menebal dan kemudian lepas dari dinding uterus.  Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah uterus atau ke dalam vagina.  Lebih jelasnya adalah sebagai berikut.
1.      Pelepasan plasenta normal
Pelepasan  plasenta terjadi karena adanya pergeseran dari permukaan plasenta saat rahim berkontraksi setelah bayi dilahirkan. Tanda-tanda pelepasan plasenta ialah adanya darah yang menyembur, pemanjangan tali pusat, dan gerakan-cephalad anterior dari fundus uterus, yang menjadi lebih kencang dan bulat setelah melepaskan plasenta. Pengeluaran plasenta merupakan hasil dari proses kontraksi rahim spontan, tekanan ke bawah dari kumpulan darah (retroplacental pooling) dalam ruang diantara dinding uterus, dan peningkatan tekanan intraabdominal ibu.  Perubahan unit uteroplasenter selama pelepasan plasenta diklasifikasikan menjadi :



a.       Fase laten
Interval dari lahirnya janin sampai awal kontraksi miometrium yang menyebabkan pelepasan plasenta. Ini adalah penentu utama durasi kala III persalinan. 
b.      Fase kontraksi
Fase ini ditandai dengan kontraksi miometrium di lokasi plasenta. 
c.       Fase pelepasan
Kontraksi miometrium di lokasi plasenta menyebabkan plasenta tergeser dari rahim. 
d.      Fase pengeluaran
Plasenta diekstrusi dipisahkan dari rahim ke dalam vagina. 
Fase pelepasan plasenta telah diteliti dengan menggunakan metode dinamis sonografi real-time. Fase laten ditandai oleh dinding tebal miometrium plasenta yang mengalami kontraksi berkala dan dinding atas miometrium di lokasi perlekatan plasenta tipis. Ketika penebalan dinding tempat perlekatan plasenta (dari <1 cm sampai> 2 cm) terjadi pada akhir tahap ini, aliran darah basal berhenti antara plasenta dan miometrium, sehingga mencegah kehilangan darah yang berlebihan pada ibu ketika melepaskan plasenta.  Aliran darah yang persisten dari pembuluh darah abnormal terjadi dengan perlekatan plasenta yang abnormal, seperti akreta plasenta.  Penebalan dan pengurangan luas permukaan dinding perlekatan plasenta di geser dari tepi plasenta. Proses ini biasanya dimulai di kutub bawah margin plasenta dan berkembang di sepanjang lokasi yang berdekatan dengan tempat perlekatan plasenta. Sebuah "gelombang pelepasan" menyebar ke atas sehingga bagian paling atas dari pelepasan plasenta terakhir. Pada titik ini, plasenta dapat dikeluarkan dari rahim. 
Penegangan miometrium terkait dengan pemisahan plasenta sudah diperkirakan dengan perubahan secara sonografi yang ditentukan oleh ketebalan dinding rahim dan model geometrik yang disederhanakan dari dinding rahim. Dalam studi ini, pengukuran penegangan dilakukan sebelum kala II persalinan dan pada pelepasan plasenta. Pengeluaran plasenta dikaitkan dengan penegangan miometrium maksimal, sehingga mempengaruhi pelepasan yang tidak dapat dicapai sebelum kelahiran karena isi uterus dasarnya mampat (janin, cairan ketuban) menahan kontraksi miometrium dan mencegah tercapainya regangan maksimal.
2.      Hemostasis
Volume normal aliran darah yang melalui plasenta adalah 500-800mL per menit.  Pada pemisahan plasenta, aliran ini harus dihentikan selama beberapa detik, jika tidak, perdarahan yang serius akan terjadi.tiga faktor yang saling memengaruhi proses fisiologis normal yang mengendalikan perdarahan merupakan hal yang sangat penting dalam meminimalkan kehilangan darah dan sekuela serius morbiditas dan atau mortalitas maternal. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.      Retraksi serat-serat otot uterus oblik pada segmen atas uterus tempat pembuluh darah saling terjalin-penipisan otot yang terjadi menimbulkan tekanan pada pembuluh darah yang pecah, bekerja sebagai klem sehingga memperkuat kerja ligatur tersebut.  Tidak adanya serat oblik pada uterus bagian bawah menyebabkan meningkatnya kehilangan darah yang menyertai pemisahan plasenta pada plasennta previa.
2.      Adanya kontraksi uterus yang kuat setelah pemisahan-hal ini menyebabkan dinding uterus saling merapat sehingga terjadi tekanan selanjutnya pada plasenta.
3.      Pencapaian hemostasis- terdapat data yang menunjukkan bahwa terjadi aktivasi sementara sistem koagulasi dan fibrinolitik selama dan segera setelah pemisahan plasenta. Diyakini bahwa respons protektif terutama aktif pada sisi plasenta sehingga pembentukan bekuan pada pembuluh darah yang pecah menjadi lebih cepat. Setelah pemisahan, sisi plasenta dengan cepat diliputi oleh tautan fibrin dengan menggunakan 5-10% fibrinogen yang bersirkulasi.
3.      Durasi           
Durasi kala III persalinan penting karena prevalensi meningkatnya perdarahan postpartum sebagai pemanjangan durasi [6,7]. Tidak ada kriteria yang diterima secara universal untuk durasi normal kala tiga. Dua seri besar persalinan berturut-turut menunjukkan bahwa panjang rata-rata 5-6 menit, dan bahwa 90 persen dari plasenta dilahirkan dalam waktu 15 menit dan 97 persen disampaikan dalam waktu 30 menit setelah melahirkan, [7,8].
4.      Pengaruh usia kehamilan
Usia kehamilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi lamanya kala III persalinan: kelahiran prematur berhubungan dengan periode yang lebih lama sepertiga waktu persalinan daripada persalinan dengan cukup bulan [7-10]. Sebagai contoh, satu studi menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kehamilan cukup bulan, frekuensi terjadinya retensio plasenta (2,0 persen secara keseluruhan) telah nyata meningkat di antara kehamilan ≤ 26 minggu  dan, tingkat lebih rendah, di antara mereka kurang dari 37 minggu.  Hubungan ini juga telah menunjukkan diantara para wanita yang mengalami terminasi kehamilan pada midtrimester. Sebuah studi dari 96 perempuan yang diberikan supositoria vaginal prostaglandin E2 untuk terminasi kehamilan mencatat bahwa kala III adalah ≤ 15 menit pada 18 pasien (19 persen) dan ≤ 30 menit pada 36 pasien (38 persen), namun, 40 dari 96 (42 persen) plasenta tidak dilahirkan secara spontan dalam waktu dua jam setelah kelahiran janin.

2.3  .Penatalaksanaan Manajemen Aktif Kala III
 Expectant versus active management 
Pendekatan optimal untuk pengelolaan kala III persalinan adalah kontroversial. Dua pendekatan yang dapat diterima adalah:
1.      Expectant management
Expectant management atau manajemen fisiologis mengacu pada lahirnya plasenta secara spontan tanpa menggunakan agen uterotonik, tali pusat dibiarkan tanpa diklem hingga pulsasinya berhenti dan atau ibu meminta untuk diklem, dan plasenta dikeluarkan dengan menggunakan gravitasi serta upaya maternal. Dengan pendekatan ini, pemberian uterotonik terapeutik dilakukan, baik itu untuk menghentikan perdarahan setelah perdarahan itu terjadi atau untuk mempertahankan uterus dalam kondisi terkontraksi jika terdapat indikasi bahwa perdarahan hebat cenderung terjadi.
Penggunaan darurat biasanya terjadi jika terdapat indikasi perdarahan yang tidak terkendali.  Dalam situasi ini, penting bagi bidan untuk mewaspadai apakah, apa, dan berapa banyak agen uterotonik yang sudah diberikan.  Apapun pengalaman praktik bidan, atau data penelitian terbaik yang tersedia, tetap saja keputusan ada pada ibu tentang bagaimana ia ingin rencana kehamilan dan persalinannya dilakukan, karena bisa saja terdapat keyakinan filosofis, religious, atau cultural, yang memengaruhi keputusannya tersebut. Namun demikian, bidan juga memiliki hak dan tanggung jawab dan dalam lingkungan praktik yang sangat berbasis hukum ini, dokumentasi merupakan hal yang sangat penting, terutama dalam hal ketika informasi yang berdasarkan data menjadi dasar untuk mengkaji apakah asuhan yang seharusnya diberikan memang benar-benar telah diberikan.
2.      Manajemen aktif
Manajemen aktif secara umum terdiri dari klem tali pusat, penegangan tali pusat terkendali, masase uterus, dan pemberian agen uterotonik sebelum pelepasan plasenta.  Penatalaksanaan aktif merupakan kebijakan yang mengharuskan dilakukannya pemberian uterotonik profilaktik sebagai tindakan pencegahan untuk menurunkan risiko perdarahan pasca partum tanpa memedulikan status obstetrik ibu. Kebijakan penatalaksanaan aktif biasanya meliputi pemberian agen uterotonik, baik secara intravena, intramuscular maupun secara oral. Pemberian ini dilakukan bersamaan dengan pengkleman tali pusat segera setelah kelahiran bayi dan lahirnya plasenta dengan menggunakan penegangan tali pusat terkendali. Jika setelah dikaji ternyata ibu juga berisiko tinggi mengalami perdarahan pascapartum (mis: kelahiran kembar, grande multipara), infus profilaktik dosis uterotonik yang lebih besar yang dilarutkan dalam cairan intravena dapat diberikan selama beberapa jam setelah kelahiran.  Hal ini juga dianggap sebagai bagian dari kebijakan penatalaksanaan aktif. Penatalaksanaan aktif kala tiga merupakan kebijakan penatalaksanaan persalinan kala tiga yang paling banyak dilakukan didunia.  
Manfaat manajemen aktif yang digambarkan dalam peninjauan secara sistematis terhadap lima percobaan acak terkontrol membandingkan manajemen aktif versus manajemen fisiologis kala III persalinan. Manajemen  aktif didefinisikan sebagai pemberian agen uterotonika profilaksis sebelum lahirnya plasenta, biasanya diawali dengan klem tali pusat, pemotongan dan penegangan tali pusat terkendali.
Manajemen aktif dikaitkan dengan penurunan risiko kehilangan darah ibu (selisih rata-rata tertimbang -79,33 mL, 95% CI -94,29 untuk -64,37); perdarahan postpartum lebih dari 500 mL (RR 0,38, 95% CI 0,32-0,46); dan pemanjangan kala III persalinan (selisih rata-rata tertimbang -9,77 menit, 95% CI -9,53 -10,00 untuk). Para peneliti menyimpulkan bahwa "manajemen aktif harus menjadi pilihan manajemen rutin bagi wanita yang mengharapkan untuk melahirkan dengan persalinan normal di rumah sakit bersalin." 
Komponen manajemen aktif kala III yaitu:
1.      Pemberian oksitosin IM segera setelah bayi lahir (maksimal 2 menit)
Pemberian oksitosin adalah komponen utama standar manajemen kala III persalinan. Nilai oksitosin ditunjukkan dalam peninjauan secara sistematis terhadap tujuh studi (n = 3000 pasien) yang membandingkan pemberian profilaksis dengan oksitosin dan tanpa uterotonik pada kala III persalinan. Pasien yang diberi oxytocin mengalami kehilangan darah yang signifikan dan perdarahan postpartum (RR untuk kehilangan darah > 500 0,50 mL; 95% CI 0,43-0,59).Namun, tidak ada perbedaan dalam lama kala III.  Waktu optimum pemberian oksitosin tidak jelas.  Oksitosin telah diberikan sebelum pelepasan plasenta untuk mempercepat proses dan setelah pengeluaran plasenta untuk meningkatkan kontraksi uterus dan mengurangi volume kehilangan darah. Sebagian besar uji acak diberikan obat sebelum pelepasan plasenta, data yang lebih sedikit, pemberian oksitosin setelah lahirnya plasenta. Berikut ini adalah hasil penelitian terbaru:
·         Sebuah survei dari dokter kandungan Kanada melaporkan 52 persen responden diberikan oksitosin sebelum kelahiran plasenta. Sebuah kuesioner yang sama diberikan kepada 1.500 dokter kandungan di Texas menemukan bahwa hanya 15 persen diberikan oxytocics sebelum kelahiran plasenta, sedangkan 92 persen melakukannya setelah kelahiran plasenta.
·         Sebuah uji coba membandingkan dua regimen termasuk 1486 wanita yang secara acak ditugaskan untuk menerima oksitosin (20 unit dalam 500 mL saline normal) pada saat penyerahan bahu anterior atau setelah pengiriman plasenta. Sebuah modifikasi manuver Brandt (tangan pada perut mengendalikan fundus rahim untuk mencegah inversi uterus sementara tangan lainnya mendesak secara kontinu ke bawah tali pusat) dilakukan pada semua pasien. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok dalam kehilangan darah atau retensio plasenta.
·         Oksitosin biasanya diberikan secara intravena. Sebagaimana dibahas di atas, dosis dan durasi oksitosin intravena sebagai agen profilaksis bervariasi antar lembaga. Suatu larutan 10 sampai 20 unit oksitosin dalam 500 atau 1000 mL salin 0,9 persen umumnya digunakan. Praktik yang biasa dilakukan yaitu infus 20 unit oksitosin dalam satu liter cairan pada laju 125 mL / jam setelah kelahiran plasenta. Jika tidak ada PPH (Post Partum Haemorrhagic) atau perdarahan post partum dan ibu stabil dalam periode pasca-melahirkan.
·         Rute lain untuk pemberian oksitosin mencakup injeksi vena umbilikalis (20 unit) atau pemberian secara intramuskular hingga 10 unit. Sebagian data menunjukkan bahwa kedua pendekatan ini sama-sama efektif. Bolus intravena (1 sampai 10 unit) juga sudah digunakan. Namun, keamanan bolus intravena oksitosin dipertanyakan karena terdapat laporan terjadi hipotensi signifikan yang dapat menyebabkan runtuhnya keadaan dan fungsi kardiovaskular. Bahkan 2,5 unit bolus oksitosin dapat menghasilkan efek samping, termasuk takikardi dan hipotensi, pada pasien preeklampsia. 
·         Injeksi vena intraumbilical dibandingkan dengan plasebo
Sebuah uji coba secara acak, double-blind menilai efektivitas injeksi intraumbilical oksitosin pada periode kala III. Dalam percobaan ini, terdapat 412 wanita secara acak untuk menerima injeksi intraumbilical dari 30 mL saline atau 20 unit oksitosin dalam 26 mL salin. Kedua kelompok juga menerima injeksi intramuskular oksitosin profilaksis 10 unit. Dibandingkan dengan kelompok kontrol saline, kelompok vena intraumbilical oksitosin tercatat kehilangan darah secara signifikan lebih sedikit (195 versus 288 mL), durasi yang lebih pendek antara kala III (4,5 vs 7,9 menit), dan plasenta lebih sedikit tidak lahir setelah 15 menit (0 versus 4 persen ).  Sebuah uji coba kecil melaporkan penemuan serupa. Namun, injeksi vena umbilikalis dapat meningkatkan kejadian transfusi Fetomaternal, yang merupakan kekhawatiran.
·         Infus intravena lambat dibandingkan injeksi vena intraumbilical
Percobaan  lain perempuan secara acak pada kala III untuk menerima 20 unit oksitosin melalui infus intravena atau ke dalam vena umbilikalis. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok baik dalam volume kehilangan darah atau durasi kala III. Namun, peningkatan insiden transfusi Fetomaternal, yang diukur dengan kadar serum ibu alpha-fetoprotein, diamati pada kelompok injeksi intraumbilical. 
·         Bolus intravena versus infus lambat
Uji coba double-blind secara acak 201 wanita untuk menerima baik bolus intravena oksitosin (10 unit push) atau infus (10 unit dalam 500 mL salin pada 125 mL / jam) ketika melahirkan bahu anterior. Injeksi bolus tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang merugikan. Dibandingkan dengan kelompok bolus, kelompok oksitosin infus encer lebih banyak kehilangan darah dari perkiraan (423,7 mL versus 358,1 mL), peningkatan penggunaan oxytocics tambahan (35 versus 22 persen) dan penurunan lebih besar dalam hemoglobin dari masuk ke postpartum (1,74 g / dL versus 1,14 g / dL). Dosis minimum efektif bolus oksitosin tidak jelas, tetapi mungkin 3 unit atau kurang. 
Sebagaimana dibahas di atas, uji coba lain telah mempertanyakan keamanan infus bolus. Setidaknya dua percobaan pada wanita yang menjalani persalinan sesar melaporkan bahwa injeksi bolus oksitosin dikaitkan dengan perubahan elektrokardiogram iskemik. Bolus cepat intravena oksitosin juga dapat mengakibatkan hipotensi yang signifikan dan telah dilaporkan juga menyebabkan serangan jantung. Pertanyaan rahasia tentang kematian ibu di Inggris melaporkan perubahan hemodinamik yang signifikan dari pemberian 10 unit oksitosin secara bolus intravena dan menyimpulkan bahwa itu bisa memberi kontribusi pada kematian dua perempuan yang sudah hemodinamik tidak stabil. Selain itu, uji coba secara acak yang dibandingkan kehilangan darah dan perubahan hemodinamik dalam 30 wanita menjalani kelahiran sesar menunjukkan bahwa 5 unit oksitosin disuntikkan perlahan-lahan (lebih dari 5 menit) meminimalkan efek samping kardiovaskular dosis bolus tanpa mengurangi manfaat terapeutik.  Berdasarkan data ini, kami sarankan infus oksitosin intravena lambat daripada injeksi bolus. 
Selain oksitosin terdapat beberapa penjelasan agen uterotonik beserta rute dan efek samping penggunaannya dalam kala III persalinan, yaitu:

a.       Alkaloid ergot
Ergot alkaloid dapat diberikan sebagai terapi obat tunggal, paling sering ialah methylergonovine 0,2 mg intramuskular; kontraindikasi pengunaan obat ini ialah pada wanita dengan hipertensi, riwayat migrain, atau fenomena Raynaud.  Preparat ergot berhubungan dengan efek samping yang lebih dari oksitosin karena mereka bertindak secara sistemik pada otot polos, sedangkan oksitosin spesifik untuk otot polos rahim. Namun, methylergonovine 0,2 mg lebih tahan lama daripada oksitosin dan lebih menghasilkan kontraksi tetanik, sehingga mereka berguna dalam pencegahan dan pengobatan perdarahan postpartum. Peninjauan sistematis ditemukan ergot alkaloid digunakan sendiri pada tahap ketiga tenaga kerja secara signifikan mengurangi kehilangan darah yang berarti (selisih rata-rata tertimbang -83 mL, 95% CI -99 ke -67 mL) dan risiko PPH paling sedikit 500 mL (RR 0,38 , 95% CI 0,21-0,69) [37]. Kelemahan utama dari agen ini adalah frekuensi muntah, peningkatan tekanan darah, dan analgesia nyeri yang meningkat secara signifikan pada kelompok yang mendapat methylergonovine 0,2 mg. Suntikan ergometrine sangat tidak stabil bila disimpan unrefrigerated atau terkena cahaya, yang membatasi penggunaan di daerah pedesaan negara-negara berkembang.  Beberapa peneliti telah membandingkan penggunaan profilaksis alkaloid ergot dengan oksitosin. Peninjauan sistematis enam percobaan membandingkan kedua modalitas pengobatan melibatkan 2800 perempuan dan terdeteksi tidak ada perbedaan yang signifikan dalam volume kehilangan darah antara dua kelompok. Namun, penggunaan oksitosin dapat mengurangi angka tindakan manual plasenta dan efek samping. Selain itu, menambahkan oksitosin dan ergometrine tidak lebih efektif daripada ergometrin saja.


b.      Ergometrin – oksitosin
Kombinasi preparat ergometrin- oksitosin (yaitu: Sintometrin: 5 unit ditambah 0.5mg ergometrin, tidak tersedia di Amerika) telah berhasil digunakan dalam manajemen aktif kala III persalinan. Peninjauan sistematis pada enam percobaan dengan total 9332 wanita menunjukkan bahwa penggunaan ergometrin- oksitosin berhubungan dengan penurunan sedikit namun secara statistik risiko perdarahan postpartum mengalami penurunan secara signifikan dari 500 sampai 1000mL, dibandingkan dengan pemberian oksitosin saja. Walaupun demikian, kedua kelompok tidak berbeda dalam risiko perdarahan postpartum sampai lebih dari 1000mL, atau dalam periode kala III persalinan. Efek samping pada ibu yaitu: mual, muntah, dan hipertensi pada wanita yang sebelumnya memiliki tensi normal, lebih umumnya terkait dengan penggunaan ergometrin-oksitosin daripada oksitosin saja. Informasi mengenai komplikasi neonatal terbatas, tetapi tidak menunjukkan perbedaan antara dua kelompok.
c.       Prostaglandin 
Prostaglandin telah banyak digunakan dalam praktik obstetric dan ginekologi untuk pematangan serviks, terminasi kehamilan (dalam hubungannya dengan mifeprostone) dan untuk induksi persalinan. Dalam manajemen aktif kala III persalinan, prostaglandin digunakan untuk perdarahan postpartum yang hebat sebagai pilihan intervensi medis terakhir. 
Peninjauan sistematis menemukan bahwa misoprostol oral atau sublingual lebih efektif dibandingkan placebo atau tanpa pengobatan dalam mengurangi frekuensi perdarahan postpartum dan transfusi darah. Namun bila dibandingkan dengan uterotonik lain, misoprostol oral dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan postpartum, penggunaan uterotonik tambahan, peningkatan menggigil dan demam yang signifikan, tetapi transfuse darah lebih sedikit.   Ada beberapa studi, membandingkan injeksi prostaglandin dengan uterotonik konvensional.  Review tersebut menyimpulkan bahwa baik prostaglandin intramuscular atau misoprostol (oral atau rectal) diberikan secara profilaksis, dan lebih baik memberikan injeksi uterotonik konvensional (misalnya: oksitosin, ergometrin) untuk manajemen aktif kala III. 
Penggunaan misoprostol juga memiliki beberapa keunggulan, yaitu: murah, dapat diberikan secara oral dan tidak memerlukan pendinginan. Dengan demikian, penggunaan misoprostol memberikan keuntungan di negara-negara miskin dimana obat harus dalam suhu dingin atau memerlukan jarum untuk injeksi.
d.      Agonis Oksitosin
Carbetosin, suatu agonis oksitosin sintetik long-acting memiliki sifat farmakologis yang sama dengan oksitosin alami.  Ia mengikat reseptor otot polos rahim dan menyebabkan kontraksi ritmik , meningkatkan frekuensi kontraksi, dan meningkatkan tekanan uterus.  Carbetosin digunakan di banyak Negara (tapi tidak di Amerika) untuk pencegahan atonia uteri dan perdarahan. Kelebihan dari carbetosin dari oksitosin ialah durasi kerjanya yang lebih panjang. Peninjauan sistematis mencakup empat studi (n: 1037 wanita) membandingkan risiko perdarahan postpartum pada pasien yang menerima oksitosin profilaksis atau carbetosin (100mikrogram secara bolus intravena) pada kala III persalinan. Tidak terdapat perbedaan dalam perdarahan postpartum yang terdeteksi antara dua wanita yang menjalani persalinan Caesar atau mereka yang memiliki risiko postpartum dan menjalani persalinan pervaginam. Penggunaan carbetosin dikatikan dengan penurunan kebutuhan agen uterotonik terapeutik dibandingkan dengan oksitosin pada pasien yang menjalani persalinan Caesar, tetapi tidak pada mereka yang menjalani persalinan pervaginam.  Carbetosin dilaporkan memiliki keefektifan yang sama dengan sintometrin (oksitosin 5 unit dan ergometrin 500 mikrogram).
e.       Asam tranexamic 
Sebuah meta-analisa dari dua percobaan acak menemukan bahwa pemberian asam tranexamic (0.5 atau 1 gram secara intravena) secara signifikan menurunkan  kehilangan darah postpartum yang berarti dan risiko perdarahan postpartum. Dalam satu percobaan, obat tersebut diberikan segera setelah persalinan pervaginam dan  diberikan 10 menit sebelum insisi bedah pada persalinan caesar.  Penyelidikan lebih lanjut terhadap keselamatan dan kemanjuran dari tindakan ini diperlukan, mengingat penigkatan risiko thrombosis vena dan arteri dengan penggunaan obat ini.

2.      Tali pusat diklem
Tindakan ini dapat dilakukan selama kelahiran bayi jika tali pusat melilit leher bayi dengan ketat. Namun demikian, terdapat berbagai pendapat yang berbeda mengenai waktu pengkleman tali pusat yang paling tepat selama kala III persalinan (Inch 1985). Pengkleman dini dilakukan pada 1-3 menit pertama segera setelah kelahiran tanpa memeriksa apakah pulsasinya sudah berhenti atau belum. Berikut ini efek dilakukannya pengkleman dini tersebut:
a.       Tindakan ini dapat mengurangi volume darah yang kembali ke janin sebanyak 75-125mL, terutama jika pengkleman dilakukan dalam menit-menit pertama (Montgomery 1960). Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan kadar hemoglobin neonatal dalam jangka pendek tetapi dalam satu-satunya studi yang dipublikasikan untuk mengkaji prognosis jangka panjang, dalam enam minggu setelah kelahiran, kadar hemoglobin pada bayi ini sudah kembali seperti semula (Pau-Chen & Tsu-Shan 1960).
b.      Tindakan ini dapat secara premature mengganggu fungsi pernapasan dalam mempertahankan kadar O2 dan melawan asidosis di masa awal kehidupan. Hal ini terutama penting bagi bayi yang lambat bernapas.
c.       Tindakan ini dapat menyebabkan turunnya kadar bilirubin neonatal, meskipun efeknya terhadap insiden ikterik klinis masih belum jelas (Prendiville & Elbourne 1989).
d.      Tindakan ini dapat meningkatkan kecenderungan transfuse fetomaternal karena volume darah yang lebih besar tertahan dalam plasenta. Tekanan vena semakin meningkat dan retraksi terus berlanjut; tekanan ini dapat cukup tinggi untuk menyebabkan rupturnya pembuluh darah pada permukaan plasenta sehingga memfasilitasi transfer sel janin ke system maternal; hal ini merupakan faktor kritis jika golongan darah ibu adalah Rhesus negative (Ladipo 1972)
e.       Tindakan ini dapat menyebabkan pembuluh darah yang terpotong berisi sejumlah bekuan darah, yang merupakan media ideal pertumbuhan bakteri. Plasenta yang semakin berat juga berkaitan dengan pengkleman tali pusat yang terlalu dini (Newton et al 1961).
Penggagas dilakukannya pengkleman akhir menganjurkan agar sebaiknya tidak dilakukan tindakan apapun sampai pulsasi tali pusat berhenti atau plasenta sudah dilahirkan secara lengkap, sehingga proses fisiologis dapat terjadi tanpa intervensi. Manfaat pengkleman akhir yang dikemukakan meliputi:
a.       Rute sirkulasi plasenta yang memiliki tahanan rendah tetap dalam keadaan paten, yang menjadi katup pengaman yang melindungi bayi baru lahir dari peningkatan tekanan darah sistemik. Hal ini dapat bersifat kritis jika bayi prematur atau asfiksia, karena peningkatan tekanan pulmoner dan vena sentral dapat memperberat kesulitan bernapas dan adaptasi sirkulasi yang menyertainya(Dunn 1985).
b.      Lamanya waktu terpisahnya tali pusat pada periode pasca natal semakin pendek.
c.       Terdapat transfusi penuh kuota darah plasenta ke bayi baru lahir. Transfusi ini dapat berisi 40% volume darah yang bersirkulasi bergantung pada kapan tali pusat diklem dan setinggi apa bayi digendong sebelum pengkleman (Yao & Lind 1974); oleh karena itu, hal ini penting untuk mempertahankan kadar hematokrit. Efek neonatal yang berkaitan dengan peningkatan insiden ikterik (Prendiville et al 1988b).
Sampai saat ini, hanya terdapat sedikit data yang mengemukakan tentang berapa banyak, jika ada, agen uterotonik yang diterima bayi setelah kelahiran. Dalam lima dokumentasi kasus pemberian mendadak dosis dewasa Syntometrin pada bayi baru lahir, tidak ada efek samping jangkan panjang yang dilaporkan (Whitfield & Salfield 1980).  Faktor lain yang dapat memengaruhi jumlah transfusi plasenta adalah penggunaan agens uterotonik sebelum persalinan selesai. Hal ini dapat menyebabkan kontraksi uterus yang kuat dengan akibat transfuse yang berlebihan pada bayi.    
3.      Plasenta dilahirkan melalui peregangan tali pusat terkendali dengan menahan fundus uterus secara dorsokranial (arah ke atas dan ke belakang).  Tindakan ini diyakini dapat mengurangi kehilangan darah, memperpendek kala tiga persalinan, dan dengan demikian, meminimalkan waktu ketika ibu berisiko mengalami perdarahan. Penegangan tali pusat terkendali ditujukan untuk meningkatkan proses fisiologis normal.  Keberhasilan tindakan ini bergantung pada pemahaman prinsip pemisahan plasenta yang telah dijelaskan di awal bab ini. Jika penegangan tali pusat terkendali dilakukan, terdapat beberapa pemeriksaan yang harus dilakukan sebelumnya, yaitu:
a.       Apakah obat uterotonik telah diberikan
b.      Apakah memang sudah waktunya tindakan ini boleh dilakukan
c.       Apakah uterus berkkontraksi dengan baik
d.      Apakah countertraction telah dilakukan
e.       Apakah terdapat tanda-tanda pelepasan dan penurunan plasenta. (Di awal kala tiga, kontraksi uterus yang kuat akan mengakibatkan fundus dapat dipalpasi dibawah umbilikus. Fundus teraba luas karena plasenta masih berada di bagian atas. Pada saat plasenta lepas dan turun ke dalam uterus bagian bawah, terdapat sedikit darah segar yang keluar, tali pusat memanjang, dan kemudian fundus menjadi lebih bundar (globuler), kecil, dan lebih lincah karena terdorong ke dalam abdomen lebih tinggi dari plasenta). Namun demikian, terdapat perdebatan tentang kapan seharusnya tindakan ini dilakukan, sebelum atau sesudah tanda-tanda pelepasan plasenta terlihat. Levy & Moore (1985) menemukan bahwa darah yang keluar akan berkurang jika penegangan tali pusat terkendali ini ditunda sampai terjadi pemanjangan tali pusat dan keluarnya sedikit darah segar.
Bidan tidak perlu memanipulasi uterus dengan cara apapun karena dapat menimbulkan kerja uterus yang tidak teratur. Tidak ada langkah lebih lanjut yang dapat dilakukan hingga teraba kontraksi yang kuat. Jika tegangan diberikan pada tali pusat tanpa kontraksi tersebut, dapat terjadi inverse uterus. Hal ini merupakan kedaruratan obstetrik akut dengan implikasi ancaman terhadap nyawa ibu. Jika penegangan tali pusat terkendali merupakan metode penatalaksanaan yang akan dilakukan, rangkaian tindakan berikut ini biasanya harus dilakukan.
Jika uterus ditemukan sedang berkontraksi pada saat dipalpasi, letakkan satu tangan diatas garis simfisis pubis dengan telapak tangan menghadap ke umbilikus sambil memberi tekanan ke arah atas. Tindakan ini merupakan countertraction. Dengan tangan lain, genggam tali pusat dengan mantap, tarik kearah bawah dan belakang mengikuti garis jalan lahir. Kemungkinan dapat dirasakan sedikit tahanan, tetapi penting bagi bidan untuk memberikan tekanan yang stabil dengan menarik tali pusat secara mantap dan mempertahankan tekanan tersebut. Gerakan yang menyentak dan kuat harus dihindari. Tujuannya adalah menyelesaikan tindakan ini dengan satu gerakan yang kontinu, halus dan terkendali. Namun demikian, tegangan ini hanya boleh diberikan selama 1 atau 2 menit karena dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada ibu dan keletihan pada tangan bidan.
Tarikan ke bawah tali pusat harus dihentikan sebelum countertraction uterus mengalami relaksasi karena hilangnya countertraction secara tiba-tiba pada saat tegangan tali pusat masih diberikan memfasilitasi terjadinya inverse uterus. Jika tindakan ini tidak langsung berhasil, harus dihentikan sejenak sebelum kontraksi uterus diperiksa kembali dan upaya berikutnya dilakukan. Saat uterus mengalami relaksasi, tegangan ini sementara dilepaskan sampai kontraksi yang baik dapat dipalpasi kembali. Setelah plasenta terlihat, plasenta dapat ditangkupkan dengan tangan untuk mengurangi tekanan pada membrane yang rapuh. Gerakan lembut ke atas dan ke bawah atau gerakan memilin akan membantu mengeluarkan membrab dan meningkatkan kemungkinan melahirkannya secara utuh. Forsep arteri dapat dipasang untuk secara bertahap membantu mengeluarkan membran dari vagina. Proses ini tidak boleh dilakukan tergesa-gesa; kecermatan yang tinggi harus dilakukan untuk mencegah robeknya membran.     
4.      Begitu plasenta dilahirkan, lakukan masase pada fundus uterus secara sirkular agar uterus tetap berkontraksi dengan baik serta untuk mendorong ke luar setiap gumpalan darah yang ada dalam uterus.

2.4  . Posisi Ibu dalam Penatalaksanaan Kala III
Dampak posisi yang dilakukan ibu pada saat melahirkan plasenta masih belum jelas.  Hal ini dapat bervariasi sesuai keinginan pribadi ibu, normalitas kemajuan, dan pengalaman, serta rasa percaya diri bidan yang menolong dan juga dapat dipengaruhi oleh kebutuhan bidan untuk memantau secara cermat faktor-faktor, misalnya kontraksi uterus dan kehilangan darah.
Penggunaan posisi dorsal mempermudah dilakukannya palpasi fundus uterus. Namun demikian, pada posisi ini, darah cenderung berkumpul di uterus dan vagina sehingga mempersulit ditentukannya perdarahan yang sebenarnya. Posisi tegak, berlutut atau merangkak dapat meningkatkanefek gravitasi dan tekanan intra-abdomen yang dapat mempercepat proses pelahiran plasenta. Darah yang keluar dapat lebih mudah diobservasi karena cairan akan keluar dari vagina. Posisi jongkok dilaporkan meningkatkan visibilitas kehilangan darah (Gupta & Nikodem 2002). Namun di Indonesia masih jarang dan hampir tidak pernah ditemui posisi jongkok digunakan dalam kala III. Posisi apapun yang digunakan, penggunaan alat bantu seperti sanggurdi, bantal, dan dukunga fisik pasangannya akan membantu memastikan kenyamanan ibu saat menyelesaikan kala tiga persalinan. Sebagian ibu akan merasa kedinginan dan gemetar saat ini, terutama jika persalinna terjadi dengan cepat. Hal ini biasanya bersifat sementara dan bukan hal yang abnormal.  

2.5  . Tindakan Asepsis
Kebutuhan asepsis saat ini jauh lebih besar daripada kala persalinan sebelumnya. Laserasi dan memar pada serviks, vagina, perineum dan vulva merupakan jalan masuk mikroorganisme. Pada sisi plasenta, luka yang terjadi merupakan media infeksi yang ideal. Oleh karena itu, perhatian yang cermat terhadap pencegahan sepsis merupakan hal yang sangat penting.
Pada saat ini, abdomen dapat diselimuti dengan handuk bersih dan tangan ditempelkan pada fundus ibu untuk memantau kemajuannya.

2.6  .  Penyelesaian Kala III
Setelah plasenta dilahirkan, bidan terlebih dahulu harus memeriksa apakah uterus berkontraksi dengan baik dan darah segar yang keluar dalam volume yang minimal. Inspeksi yang cermat terhadap perineum dan vagina bagian bawah merupakan hal yang sangat penting. Arahkan cahaya ynag kuat pada perineum untuk mengkaji adanya trauma akut sebelum melakukan perbaikan. Perbaikan ini harus dilakukan sehati-hati mungkin karena jaringan tersebut biasanya memar dan edema. Laserasi ringan seperti kerusakan pada fourchette dapat dibiarkan tanpa dijahit. Namun demikian, jika terdapat luka yang lebih luas seperti episiotomi atau robekan derajat dua, penjahitan hatus dilakukan sebaik mungkin untuk mencegah kehilangan darah yang tidak perlu dan peningkatan risiko edema pada sisi trauma. Duthie et al (1990)  dalam studi laboratoriumnya mengenai perbandingan jumlah kehilangan darah dengan perkiraan visual di ruang persalinan, menemukan bahwa 17,7% perdarahan pascapartum primer yang dihitung dengan pengukuran laboratorium luput dari perkiraan visual pada populasi wanita yang dikaji berisiko rendah mengalami perdarahan pascapartum..

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan bahwa manajemen aktif kala tiga ialah tindakan setelah bayi lahir yang bertujuan untuk mengurangi bahkan menekan angka kematian ibu yang banyak disebabkan oleh perdarahan postpartum.  Terdapat dua macam manajemen untuk pengelolaan periode kala tiga persalinan, yaitu manajemen expectant atau disebut manajemen fisiologis dan manajemen aktif.  Perbedaan antara keduanya hanya dalam pemberian agen uterotonik, pada manajemen fisiologis, ibu tidak diberi uterotonik seperti injeksi oksitosin dan pada manajemen aktif, ibu diberi injeksi oksitosin untuk mencegah perdarahan dan membantu kontraksi uterus yang optimal. Tidak ada kriteria yang diterima secara universal untuk periode normal kala III persalinan.  Periode rata-rata 05.55 menit, 90 persen plasenta dilahirkan dalam waktu 15 menit dan 97 persen plasenta dilahirkan dalam waktu 30 menit setelah lahirnya bayi. Namun, persalinan prematur berhubungan dengan periode yang sepertiga lebih panjang pada kala  III persalinan. Pemberian agen uterotonik dianjurkan selama kala III persalinan untuk mengurangi kehilangan darah ibu. Tidak ada data yang memadai untuk menentukan apakah pemberian agen uterotonik lebih efektif jika diberikan setelah melahirkan bahu anterior tapi sebelum pelepasan plasenta atau segera setelah lahirnya plasenta. Oksitosin IV diberikan secara infus relatif cepat 20unit dalam 1000 mL kristaloid saat melahirkan bahu anterior (untuk membatasi risiko terjadinya distosia bahu). 
Setelah melahirkan bayi dan ketika ada tanda-tanda pelepasan plasenta yang nyata gunakan maneuver Brandt dan lakukan penegangan tali pusat terkendali untuk memfasilitasi lahirnya plasenta dan lakukan masase uterus dan lanjutkan infus oksitosin setelah kelahiran plasenta.

3.2. Saran
Disarankan untuk menggunakan oksitosin atau preparat kombinasi ergometrin-oksitosin (yaitu sintometrin) untuk agen uterotonik.  Bila dibandingkan dengan oksitosin sendiri, ergometrin-oksitosin berhubungan dengan pengurangan risiko perdarahan postpartum 500-1000mL, namun akan terjadi peningkatan efek samping seperti muntah dan hipertensi. Oksitosin dapat diinfuskan (20 unit dalam 1000mL kristaloid) ke pembuluh darah ibu atau diinjeksikan ke dalam vena umbilical (20unit), kedua rute tersebut sama efektif. Meskipun injeksi bolus intravena (hingga 10unit) dilaporkan aman dan lebih efektif daripada infuse lambat dalam satu percobaan yang dirancang dengan baik, beberapa studi lain telah menunjukkan adanya perubahan elektrokardiogram iskemik, kolapskardiovaskuler dan bahkan serangan jantung setelah pemberian bolus. Oleh karena itu disarankanuntuk menghindari injeksi bolus oksitosin cepat.  Jika tidak ada akses vena, injeksi intramuscular (hingga 10unit) juga dapat dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Ari sulistyawati dan Esti Nugraha, 2010, Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Salemba Medika: Jakarta
Depkes RI, 2004, Asuhan Persalinan Normal, Edisi Baru dengan Resusitasi: Jakarta
Fraser Diane M, Cooper Margaret A, 2003, Buku Ajar Bidan Myles, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

No comments:

Post a Comment