A Distosia His
1
Definisi
Distosia adalah kesulitan dalam jalannya
persalinan. Distosia karena kelainan tenaga/ his
adalah his yang tidak normal baik kekuatan maupun sifatnya sehingga menghambat
kelancaran persalinan. (Buku ASKEB IV
(PATOLOGI KEBIDANAN),AI YEYEH RUKIYAH S.SiT, Lia Yulianti, Am.Keb, MKM)
2
Etiologi
Panggul sempit dan malposisi
fetus
merupakan penyebab umum disfungsi uterus. Derajat
sedang kesempitan panggul dan malposisi fetus, dapat menyebabkan disfungsi
uterus hipotonik sehingga mempunyai arti klinik yang penting. Uterus yang terlalu terdistensi, seperti yang terjadi
pada kehamilan kembar dan hidramnion, dapat menimbulkan distensi yang
berlebihan ini. Tetapi, pada banyak kasus-mungkin
separuh di antaranya-penyebab disfungsi uterus masih belum diketahui (Seitchik
dkk, 1987). Kesalahan utama jarang terletak pada serviks yang terlalu kaku untuk berdilatasi. Meskipun demikian
para primipara yang usianya agak lanjut, dan pada wanita dengan fibrosis
serviks akibat keadaan tertentu, kekakuan serviks yang
berlebihan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya distosia. (ObWil)
Sering dijumpai pada primigravida tua dan
inersia uteri sering dijumpai pada multigravid; faktor herediter, emosi dan
kekuatan memegang peranan penting; salah pimpinan persalinan pada kala II atau
salah pemberian obat-obatan seperti oksitosin dan obat-obatan penenang;
penanganan distosia kelainan tenaga/his bila dijumpai pada permulaan persalinan
lakukan evaluasi secara keseluruhan untuk mencari sebab-sebabnya.(Buku
ASKEB IV (PATOLOGI KEBIDANAN),AI YEYEH RUKIYAH S.SiT, Lia Yulianti, Am.Keb,
MKM)
3
Komplikasi
kelainan his bisa
menyebabkan komplikasi pada ibu maupun janin. ibu bisa
merasakan kelelahan karena partus lama, atau nyeri
yang hebat pada kelainan his hipertonik dan his yang tidak dapat
terkoordinasi. janin pun bisa mengalami distress
bahkan kematian janin
B
Tipe-tipe
Distosia His
1
His Hipotonik
a.
Definisi
Adalah his
yang sifatnya lebih lama, lebih singkat dan lebih jarang dibandingkan
dengan his yang normal. Inersia uteri dibagi 2 keadaan primer dan sekunder.
Pada fase laten diagnosis akan lebih sulit tetapi bila sebelumnya telah ada
kontraksi (his) yang kuat dan lama maka diagnosis ini akan lebih mudah
ditegakkan.
b.
Etiologi
Kelainan
his terutama ditemukan pada primigravida, khususnya primigravida
tua. Pada multipara lebih banyak ditemukan kelainan yang bersifat
inersia uteri. Faktor herediter mungkin memegang peranan pula dalam kelainan
his. Sampai seberapa jauh faktor emosi
(ketakutakan dan lain-lain) mempengaruhi kelainan his, belum ada persesuaian
paham antara para ahli. Satu sebab yang penting dalam kelainan his, khusunya
inersia uteri, ialah apabila bagian bawah janin tidak
berhubungan rapat dengan segmen bawah uterus seperti misalnya kelainan letak
janin atau pada disproporsi sefalopelvik. Peregangan
rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda maupun hidramnion juga dapat
merupakan penyebab dari inersia uteri yang murni. Akhirnya gangguan
pembentukan uterus pada masa embrional, misalnya uterus bikornus unikollis,
dapat pula mengakibatkan kelainan his. Akan tetapi pada sebagian besar kasus,
kurang lebih separuhnya, penyebab inersia uteri ini tidak diketahui. Pengaruh hormonal
karena kekurangan hormon oksitosin dan prostaglandin, Pada
kehamilan dg kelainan letak janin atau pada CPD,
50% penyebab kelainan his tdk diketahui penyebabnya.
c.
Faktor Predisposisi
Sering dijumpai
pada penderita dengan keadaan umum kurang baik seperti anemia,
uterus yang terlalu teregang misalnya akibat hidramnion
atau kehamilan kembar atau makrosomia, grandemultipara atau primipara, serta
pada penderita dengan keadaan emosi kurang baik.
d.
Tanda dan Gejala
Pada disfungsi uterus hipotonik, kontraksi lebih jarang
terjadi dan uterus tidak mudah diraba meskipun pada puncak kontraksi.
1)
waktu persalinan memanjang
2)
dilatasi serviks lambat
3)
membran biasanya masih utuh
4)
berdasarkan tokografi : gelombang kontraksi
kurang dari normal dengan amplitudo pendek.
e.
Komplikasi
Kelambatan
tindakan yang tidak semestinya terjadi, sering membawa akibat yang tidak
menguntungkan, sementara intervensi yang terlalu cepat bisa mengakibatkan
persalinan dengan seksio sesaria yang tidak diperlukan. Kematian fetal dan neonatal akan menyertai
infeksi intrauteri yang umumnya terjadi pada persalinan disfungsional
yang lama. Meskipun tindakan proteksi bagi ibu melalui pengobatan infeksi
intrauteri dengan antibiotic merupakan tindakan yang bijaksana, namun terapi
tersebut tidak banyak artinya dalam melindungi janin. Kelelahan
ibu dapat terjadi bila proses persalinan berlangsung terlampau lama.
Namun demikian, terapi suportif dengan pemberian cairan infus yang memadai harus dimulai dan proses
persalinan harus berlangsung sebelum semua komplikasi di atas terjadi. Persalinan yang sulit lebih besar kemungkinannya untuk
menimbulkan gejala sisa psikologis pada ibu, sebagaimana di tegaskan
baik oleh Jeffcoate (1961), maupun Steer (1950). Keduanya mendapatkan bahwa
persalinan yang sulit akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi proses
kehamilan berikutnya. Kedua penyelidik ini memperlihatkan, lebih dari dua
pertiga di antara pasien-pasien mereka yang mempunyai anak lagi setelah
menjalani proses persalinan spontan, namun hanya sepertiga diantaranya mau
mempunyai anak lagi setelah persalinan dilakukan dengan tindakan vorsep tengah.
f.
Patofisiologi
Tidak terdapat hipertonus
basal dan kontraksi uterus mempunyai pola gradient yang normal (sinkron), namun
kenaikan tekanan yang sedikit pada saat his tidak cukup untuk menimbulkan dilatasi
serviks dengan kecepatan yang memuaskan. Tipe disfungsi uterus ini biasanya
terjadi selama fase aktif persalinan, yaitu sesudah serviks mengadakan dilatasi
lebih dari 4 cm.
g.
Penatalaksanaan
1)
Deteksi dini
Pada fase laten diagnosis akan lebih
sulit tetapi bila sebelumnya telah ada kontraksi (his) yang kuat dan lama maka
diagnosis ini akan lebih mudah ditegakkan.
2)
Anamnesa
ibu merasakan hisnya melemah dari sebelumnya
3)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik memperlihatkan:
a)
Dilakukan observasi pasien yang berhubungan
dengan keadaan umumnya, besarnya rasa nyeri dan derajat kemajuan persalinan
b)
Uterus dipalpasi untuk menentukan tipe dan beratnya kontraksi.
4)
Pengelolaan Kasus
Pencegahan :
a) Keadaan umum penderita harus
diperbaiki. Gizi selama kehamilan harus diperhatikan.
b) Penderita dipersiapkan menghadapi
persalinan, dan dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Tindakan
:
a)
Pada
inersia primer, setelah dipastikan penderita masuk dalam persalinan, evaluasi
kemajuan persalinan 12 jam kemudian dengan periksa dalam. Jika pembukaan kurang
dari 3 cm, porsio tebal lebih dari 1 cm, penderita diistirahatkan, diberikan
sedativa sehingga dapat tidur. Mungkin masih dalam "false labor".
Jika setelah 12 jam berikutnya tetap ada his tanpa ada kemajuan persalinan,
ketuban dipecahkan dan his diperbaiki dengan infus pitosin. Perlu diingat bahwa
persalinan harus diselesaikan dalam waktu 24 jam setelah ketuban pecah, agar
prognosis janin tetap baik.
b)
Pada
inersia uteri sekunder, dalam fase aktif, harus segera dilakukan :
·
penilaian
cermat apakah ada disproporsi sefalopelvik dengan pelvimetri klinik atau
radiologi. Bila ada CPD maka persalinan segera diakhiri dengan sectio cesarea.
·
bila tidak
ada CPD, ketuban dipecahkan dan diberi pitocin infus.
·
nilai
kemajuan persalinan kembali 2 jam setelah his baik. Bila tidak ada kemajuan,
persalinan diakhiri dengan sectio cesarea.
·
pada akhir
kala I atau pada kala II bila syarat ekstraksi vakum atau cunam dipenuhi, maka
persalinan dapat segera diakhiri dengan bantuan alat tersebut.
Stimulasi oksitosin
Sebelum merangsang persalinan dengan oksitosin, kita harus yakin bahwa jalan lahir kemungkinan besar memadai
untuk ukuran kepala janin, dan bahwa kepala janin sudah engaged dengan
baik dalam panggul, yang berarti menggunakan diameter terkecil untuk
penyesuaian dengan jalan lahir (diameter biparietalis dan
suboksipitobregmatika). Panggul yang sempit paling kecil kemungkinannya kalau
semua criteria berikut terpenuhi:
1)
Konjugata diagonalis normal
2)
Dinding samping pelvis hampir
sejajar
3)
Spina iskiandika tidak
menonjol
4)
Sacrum tidak rata
5)
Angulus subpubikum tidak
sempit
6)
Presentasi janin adalah
presentasi oksiput
7) Kepala janin sudah engaged
atau turun lewat pintu atas panggul dengan tenaga fundus
Jika
semua criteria ini tidak terpenuhi, pilihan alternatifnya adalah persalinan
dengan seksio sesarea atau mungkin dengan
stimulasi oksitosin. Jika digunakan oksitosin, maka kecepatan denyut jantung
janin harus diamati dengan ketat. Apabila tidak bisa dipantau secara terus-menerus,
kerja jantung janin harus diperiksa segera setelah kontraksi rahim dan jangan
menunggu satu menit atau lebih sesudahnya.
Teknik
Infus Oksitosin
Sepuluh unit oksitosin dicampurkan dengan 1 L larutan
duakan jumlah pengencerannya atau membagi dosis oksitosin menjadi separuhnya.
Walaupun larutan yang lebih encer oleh beberapa penulis ditemukan memberikan
hasil yang cukup efektif, campuran (10 U per L) mudah dibuat, aman, efektif dan
paling kecil kemungkinannya untuk timbulnya kekeliruan dalam pembuatannya serta
pemberiannya. Karena larutan oksitosin
menggandung 10 mU per mL, kecepatan tetesan akan mudan dihitung.
Penggunaan pompa infuse dengan kecepatan tetesan yang konstan akan meningkatkan
ketepatan takaran yang diberikan, khususnya rentang takara yang lebih rendah,
dan sangat dianjurkan. Sebuah jarum infuse, yang cairan infusnya sudah
dimatikan telebih dahulu, disisipkan ke dalam pembuluh darah venalengan, atau
sebaiknya disambung dengan selang infuse yang sudah bekerja dengan baik, dan
kemudian tetesan dimulai perlahan sehingga pemberian oksitosin tidak lebih dari
1 mU per menit (Seitchik dan Castillo, 1982).
Untuk memperkuat proses persalinan pada disfungsi
hipotonik yang sejati, 1 mU oksitosin tidak boleh menimbulkan kontraksi tetanik
pada rahim, meskipun kita harus sudah siap
untuk menghentikan aliran infuse kalau kepekaan uterus terhadap obat tersebut
terlampau tinggi. Kecepatan aliran bisa ditingkatkan
secara berangsur-angsur dengan interval tidak lebih dari 30 menit untuk
menghasilkan takaran yang tidak melampaui10 mU per menit, menurut Seitchik dan
Castillo (1982). Dalam menghadapi disfungsi uterus, kecepatan tetesan
jarang diperlukan lebih dari takaran ini. Untuk induksi persalinan, jika
kecepatan aliran dengan takaran 30 hingga 40 mU per menit gagal untuk
menimbulkan kontraksi rahim yang memuaskan, maka takaran yang lebih besar lagi
kemungkinan tidak akan menghasilkan his.
Ibu yang mendapatkan infuse oksitosin tidak boleh di
tinggal sendiri sementara cairan infuse diberikan. Kontraksi uterus harus
dievaluasi secara kontinyu. Dan pemberian oksitosin harus segera dihentikan
jika lama his lebih dari 1 menit atau jika denyut jantung janin memperlihatkan
penurunan yang bermakna. Kalau salah satu di antara kedua keadaan ini terjadi,
penghentian seketika infuse oksitosin hampir selalu memperbaiki gangguan
sehingga mencegah terjadinya kemungkinan yang berbahaya bagi ibu dan janin.
Konsentrasi oksitosin dalam plasma akan menurun dengan cepat, karena waktu
paruh rata-rata oksitosin kuang lebih 5 menit.
Kita harus selalu mempertimbangkan bahwa
oksitosin mempunyai khasiat antidiuretik yang poten. Jika 20 mU atau lebih oksitosin per menit diinfuskan, maka
bersihan air bebas oleh ginjal akan mengalami penurunan yang nyata. Jika cairan
yang mengandung air, diinfuskan dengan jumlah yang cukup banyak bersama-sama
oksitosin, maka bisa saja terjadi kemungkinan intoksikasi air yang dapat
mengakibatkan konvulsi, koma dan bahkan kematian.
Pada Rumah Sakit Parkland,
tindakan pengawasan berikut ini dilakukan dalam penggunaan
oksitosin untuk mengatasi disfungsi hipotonik:
1)
Wanita tersebut harus
dalam proses persalinan yang sebenarnya, dan bukan dalam proses
persalinan palsu atau persalinan prodromal. Bukti adanya persalinan adalah
penipisan dan dilatasi serviks yang terus berlangsung. Meskipun kemajuannya
sudah berhenti, persalinan tersebut harus sudah mengalami kemajuan dengan adanya
dilatasi serviks 3 sampai 4 cm. salah satu kesalahan yang paling dijumpai dalam
kebidanan adalah mencoba untuk menstimulasi persalinan pada wanita yang belum
berada
2) yang
jelas terhadap proses persalinan yang aman tidak boleh ada.
3) Penggunaan
oksitosin umumnya dan distensi uterus berlebihan yang harus
dihindari pada kasus-kasus presentasi janin yang abnormal nyaa, seperti
pada hidramnion yang berat, janin yang sangat besar atau pada kehamilan kembar.
4) Wanita dengan paritas yang tinggi (lebih dari 5 anak) pada umumnya
tidak diberi oksitosin, karena kemungkinan terjadinya rupture
uteri lebih besar dari pada wanita dengan paritas yang rendah. Oksitosin
biasanya tidak diberikan pula pada wanita dengan sikatriks pada rahim yang
ditimbulkan oleh persalinan sebelumnya.
5) Kondisi janin harus baik sebagaimana dibuktikan lewat
frekuensi denyut jantung janin yang normal dan tidak terlihatnya mekonium dalam
cairan ketuban. Janin yang mati tentu saja bukan
kontraindikasi untuk pemberian oksitosin, kecuali jika terdapat disproporsi
fetopelvik yang nyata atau letak lintang.
6) Dokter ahli kebidanan
harus mencatat waktu kontraksi pertama setelah pemberian oksitosin dan siap
menghentikannya apabila timbul kontraksi tetanik. Hiperstimulasi uterus dengan
oksitosin juga harus di hindari. Frekuensi, intensitas serta lama kontraksi,
dan tonus otot rahim pada saat di antara kontraksi tidak boleh melampaui tonus
pada persalinan spontan yang normal.
7) Pemantauan denyut jantung janin dan aktivitas uterus dengan alat
elektronis harus dilakukan terus-menerus. Elektroda
internal yang ditempelkan pada kulit kepala janin dan alat pemantau tekanan
itrauteri harus digunakan secepatnya karena pemasangan kedua alat pemantau ini
merupakan tindakan yang bijaksana.
Salah satu karakteristik pada pemberian oksitosin
intravena yang berhasil adalah, oksitosin segera bekerja menimbulkan kemajuan
persalinan yang nyata. Untuk setiap kecepatan infuse, kadar oksitosin dalam
plasma akan mencapaipuncak yang datar setelah 30 hingga 40 menit, karena
tercapainya keseimbangan antara kecepatan pemberian oksitosin dan kecepatan
penghancurannya oleh enzim oksitosinase. Dengan demikian, obat tersebut tidak
harus digunakan untuk menstimulasi persalinan dengan periode waktu yang tidak
terbatas. Oksitosin harus digunakan untuk waktu yang tidak lebih dari beberapa
jam saja (O’Driscoll dkk., 1984; Seichik dan Castillo, 1982); sehingga, bila
perubahan serviks tidak terjadi dengan jelas dan bila persalinan pervaginan
diperkrakan tidak mungkin berlangsung, maka persalinan dengan seksio sesaria
harus dilaksanakan. Sebaliknya, oksitosin tidak boleh di pakai untuk memaksa
dilatasi serviks dengan kecepatannya yang melebihi keadaan normalnya (Cohen dan
Friedman, 1983). Kesiapan dokter untuk melakukan seksio sesaria pada
kasus-kasus di mana pemberian oksitosin tidak berhasil atau bila terdapat
kontraindikasi terhadap pemakaian oksitosin, akan menurunkan mortalitas dan
morbiditas perinatal secara bermakna.
|
Hipotonis
|
Hipertonis
|
Kejadian
|
4% dari persalinan
|
1% dari persalinan
|
Saat terjadinya
|
Fase Aktif
|
Fase laten
|
Nyeri
|
Tidak nyeri
|
Nyeri
|
Fetal Distress
|
Lambat terjadi
|
Cepat terjadi
|
Reaksi terhadap
oksitosin
|
Baik
|
Tidak baik
|
Pengaruh sedatif
|
Sedikit
|
banyak
|
2
His
Hipertonik
a.
Definisi
Adalah his yang terlampau kuat dan terlalu
sering sehingga tidak ada relaksasi. His hipertonik disebut juga tetania
uteri yaitu his yang terlalu kuat. Sifat hisnya normal, tonus otot diluar his
yang biasa, kelainannya terletak pada kekuatan his.
b.
Etiologi
Usia terlalu tua, Pimpinan
persalinan, Karena induksi persalinan dengan
oksitosin, Rasa takut dan cemas.
c.
Faktor Predisposisi
Faktor yang dapat menyebabkan kelainan ini antara lain adalah
rangsangan pada uterus, misalnya pemberian oksitosin yang berlebihan, ketuban
pecah lama dengan disertai infeksi, dan sebagainya.
d.
Tanda dan Gejala
1)
persalinan menjadi memanjang
2)
kontraksi uterus tidak teratur dan lebih nyeri. nyeri
dirasakan sebelum dan sesudah kontraksi
3)
tekanan istirahat intrauterin meninggi
4)
dilatasi serviks cepat
5)
ketuban pecah dini
6)
cepat terjadi distress janin
e.
Komplikasi
1)
Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya partus presipitatus yang dapat
mengakibatkan persalinan diatas kendaran, dikamar mandi, dan tidak sempat
dilakukan pertolongan. Akibatnya terjadilah luka-luka jalan lahir yang
luas pada servik, vagina pada perineum,dan pada bayi dapat terjadi perdarahan
intracranial.Bila ada kesempitan panggul dapat terjadi rupture uteri mengancam,
dan bila tidak segera ditangani akan berlanjut menjadi rupture uteri
2)
Asfiksia intra uteri – kematian janin
f.
Patofisiologi
Tonus basal bisa meningkat cukup besar atau
gerakan tekanan mengalami perubahan, yang keduanya mungkin terjadi akibat
kontraksi pada segmen tengah uterus dengan tenaga yang lebih kuat daripada
tenaga fundus, atau akibat asinkronisme total pada impuls yang berasal dari
setiap kornu, atau juga akibat kombinasi kedua keadaan tersebut.
g.
Penatalaksanaan
1)
Anamnesa
ibu mengatakan sangat
mules dan tidak ada waktu mulesnya berhenti.
2)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik memperlihatkan:
a)
ibu terlihat sangat kesakitan dan kelelahan karena uterus
terus menerus berkontraksi
b)
saat dilakukan palpasi uterus, his terlampau kuat dan
durasi his lama
3)
Pengelolaan Kasus
a)
Dilakukan pengobatan simtomatis
untuk mengurangi tonus otot, nyeri, mengurangi ketakutan. Denyut jantung janin
harus terus dievaluasi. Bila dengan cara tersebut tidak berhasil, persalinan
harus diakhiri dengan sectio cesarea.
b)
Pada
partus presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena biasanya bayi
sudah lahir tanpa ada seorang yang menolong. Kalau seorang wanita pernah
mangalami partus presipitatus, kemungkinan bsar kejadian ini akan berulang pada
persalinan berikutnya. Karena itu, sebaiknya wanita dirawat sebelum persalinan,
sehingga pengawasan dapat dilakukan dengan baik. Pada persalinan keadaan
diawasi dengan cermat, dan epiostomi dilakukan pada waktu yang tepat untuk
menghindarkan terjadinya ruptura perinei tingkat ketiga. Bilamana his kuat dan
ada rintangan yang menghalangi lahirnya janin, dapat timbul lingkaran retraksi
patologik, yang merupakan tanda bahaya akan terjadi ruptura uteri. Dalam
keadaan demikian janin harus segera dilahirkan dengan cara yang memberikan trauma
sedikit-sedikitnya bagi ibu dan anak.
3
His yang
Tidak Terkoordinasi
a.
Definisi
Adalah sifat his yang berubah-ubah tidak
ada koordinasi dan sinkronasi antara kontraksi dan bagian-bagiannya, jadi
kontraksi tidak efisien dalam mengadakan pembukaan.
b.
Etiologi
Insidensi yang dilaporkan bervariasi dari 1
hingga 7 persen, tapi diragukan apakah sindrom yang sebenarnya terjadi pada
lebih dari 2 persen persalinan. Malpresentasi dan disproporsi yang ringan
merupakan predisposisi terjadinya kerja abnormal uterus.
c.
Faktor Predisposisi
1)
Usia dan Paritas
Keadaan ini terutama merupakan keadaan pada
primigravida. Sekitar 95% dari kasus-kasus berat terjadi dalam persalinan
pertama dan uterus hampir selalu lebih efisien pada kehamilan berikutnya.
Insidensi pada primigravida lanjut usia hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan
pada wanita muda.
2)
Faktor-faktor Konstitusi
Yang terutama cenderung mengalami kerja
uterus yang tidak terkoordinasi adalah wanita yang gemuk, mirip laki-laki
(maskulin) dan relatif infertile. Tampaknya ada tendensi familial. Kerja uterus
yang tidak terkoordinasi ini tidak berhubungan dengan malnutrisi atau pun
dengan debilitas umum.
3)
Kondisi Emosi dan Kejiwaan
Kita tidak tahu bagaimana masalah kejiwaan
dan emosi bekerja dalam menyebabkan atau memperburuk inkoordinasi uterus pada
persalinan. Dikatakan bahwa rasa takut meningkatkan tegangan pada segmen bawah
uterus. Akan tetapi, ada wanita tenang yang mengalami persalinan sulit dan ada
wanita yang amat emosional yang melahirkan dengan mudah. Kebanyakan kelainan
berat pada system saraf pusat tidak memberikan pengaruh yang merugikan
persalinan.
4)
Kelainan Uterus
Sementara sebagian dokter menganggap bahwa
overdistensi, fibroid dan jaringan perut pada uterus menjadi predisposisi
timbulnya kontraksi uterus yang jelek, dokter-dokter lainnya menolak anggapan
tersebut. Yang pasti, kelainan congenital
uterus, uterus yang fusinya tidak lengkap atau uterus bicornis akan mengganggu
persalinan.
5)
Pecahnya Ketuban
Pecahnya ketuban dalam kondisi yang tepat
akan merangsang uterus untuk berkontraksi lebih baik dan mempercepat kemajuan
persalinan. Akan tetapi, ketuban yang pecah sebelum serviks matang-yaitu
serviks belum mendatar, masih keras, tebal dan tertutup-tentu menghasilkan
persalinan lama dan tidak efisien.
6)
Gangguan Mekanis dalam Hubungan Janin
dengan Jalan Lahir
Bagian terendah yang menempel baik pada
serviks dan segmen bawah uterus pada kala satu persalinan dan dengan vagina
serta perineum pada kala dua akan menghasilkan rangsangan refleks yang baik
pada myometrium. Segala sesuatu yang menghalangi hubungan baik ini akan
menyebabkan kegagalan refleks tersebut dan akibatnya timbullah kontraksi yang
buruk.
Hubungan antara posisi posterior, sikap
ekstensi dan posisi melintang yang macet, (transverse
arrest) dengan kerja uterus yang salah telah diketahui dengan baik.
Malposisi menyebabkan gangguan uterus, dan jika keadaan ini bisa diperbaiki,
maka kontraksi kerapkali kembali menjadi baik.
Penurunan yang lambat dan pembentukan
segmen bawah uterus yang tidak lengkap merupakan tanda dini inkoordinasi rahim.
Disproporsi cephalopelvik dalam derajat yang ringan menjadi predisposisi
timbulnya kerja uterus yang tidak terkoordinasi atau incoordinate uterine action.
7)
Iritasi uterus
Rangsangan yang tidak tepat pada uterus
oleh obat-obatan atau oleh tindakan manipulasi intrauterine dapat megakibatkan
terjadinya inkoordinasi uterus
d.
Tanda dan Gejala
Gambaran klinis berupa persalinan lama
tanpa adanya disproporsi fetopelvik. Pada sebagian daerah otot uterus terjadi
hipertonus, peningkatan tegangan dan spasme yang yang menetap sekalipun diluar
kontraksi. Tekanan intrauterine istirahat meningkat. Kontraksi sering terjadi
dan kekuatan serta periodisitasnya biasanya tidak teratur. Meskipun kontraksi
rahim acapkali kuat dan selalu menimbulkan rasa nyeri, kemajuan persalinan
tetap lambat atau tidak ada. Serviks membuka dengan lambat, dan bagian terendah
hanya maju sedikit atau sama sekali tidak mengalami kemajuan. Kondisi ini
terjadi pada segala derajat, dari yang ringan hingga yang paling berat.
Persalinan mula-mula bisa berlangsung
normal atau sejak permulaan sudah inkoordinasi. Ketuban pecah dini sementara
serviks masih tertutup dan belum mendatar acapkali terlihat. Pasien terus
mengeluhkan nyeri dan kalau pada pemeriksaan tidak ditemukan kemajuan
persalinan, kita dapat menyimpulkan bahwa ibu tersebut memberikan keluhan yang
berlebihan bila dibandingkan keadaan yang sebenarnya. Walaupun begitu, dokter
kebidanan ya ng berpengalaman akan mengenali keadaan ini dan memberikan sedasi.
Setelah suatu masa istirahat (bebas kontraksi), pola kontraksi mungkin kembali
normal atau tetap terjadi inkoordinasi. Semakin lama serangan kontraksi yang
bersifat kolik itu semakin meningkat. Pasien mendekapkan kedua belah
tangannyapada daerah uterus yang peka tersebut untuk melindunginya. Akhirnya
diperlukan sedasi lebih dalam lagi.
Persalinan berlangsung lama, khususnya kala
I, karena pada kerja uterus yang tidak terkoordinasi, serviks tidak berhasil
membuka secara normal. Setelah jangka waktu yang panjang: (1) serviks dapat
berdilatasi penuh, dan bayi dilahirkan secara spontan atau dengan bantuan
forceps: (2) digunakan metode mempercepat dilatasi serviks sebelum bayi dapat
diekstraksi: atau (3) kelahiran tidak bisa dilangsungkan pervaginjam sehingga
dilaksanakan sectio caesarea.
Yang khas pada keadaan ini adalah adanya
keluhan nyeri sebelum uterus terasa mengeras, dan nyeri tersebut tetap ada
sekalipun uterus sudah lembek kembali. Kadang-kadang timbul nyeri yang
kontinyu, khususnya nyeri yang hebat pada daerah punggung. Pasien menyadari
bahwa persalinannya tidak maju-maju sehingga timbul kecemasan dan hilangnya
semangat yang memperburuk situasi. Akhirnya ia menjadi lelah serta dehidrasi
dan denyut nadi serta suhunya meningkat.
Serviks dapat tebal atau tipis, mungkin
menempel secara pas dengan bagian terendah atau tergantung secara longgar di
dalam vagina. Serviks berdilatasi lambat sekali dan tidak pernah tercapai
dilatasi yang penuh. Pada kebanyakan kasus, dilatasi berhenti pada 6 hingga 7
cm. kadang kala bibir anterior serviks yang tebal dan oedematous ini terjepit
di antara os pubis dan kepala janin.
Pasien sering merasakan keinginan yang
mendadak untuk mengedan sebelum serviks terbuka penuh. Pendamping atau penolong
persalinan harus menghentikan keinginan mengedan ini karena pasien tersebut
dapat menjadi letih tanpa kemajuan lebih lanjut. Disini ada kecenderungan
terjadinya retensio urin. Vomitus sering terjadi dan menambah berat keadaan
dehidrasi.
Diagnosis berdasarkan pada hal-hal berikut:
1)
Kesan subjektif pasien terhadap kekuatan
dan lamanya His
2)
Kesan objektif pemeriksa terhadap lamanya
kontraksi rahim, dan pendapatnya yang sebagian objektif terhadap kekuatan
kontraksi tersebut
3)
Pengamatan terhadap efektifitas kontraksi
dalam mempercepat kemajuan khususnya dilatasi serviks
4)
Penggunaan alat elektronik untuk memonitor
kontraksi uterus dan denyut jantung janin.
(Oxorn,
Harry and Forte, William R. 2010. Ilmu Kebidanan:Patologi dan Fisiologi
Persalinan. Yogyakarta: penerbit ANDI)
e.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada
maternal:
1)
Kelelahan
2)
Perdarahan dan syok
3)
Infeksi
4)
Laserasi vagina pada kelahiran yang sulit
5)
Pelepasan anuler atau laserasi seviks
Setelah
24 jam bahaya bagi ibu dan janin meningkat dengan tajam. Banyak ibu merasakan
penderitaan yang begitu hebat sehingga mereka menolak untuk menambah anak.
Mortalitas anak dibawah 1%.
Bahaya
bagi janin
1)
Asfiksia akibat persalinan lama dan akibat
gangguan pada sirkulasi utero plasenta selama kontraksi rahim yang lama dan
kuat
2)
Cedera pada saat kelahiran yang traumatic
3)
Komplikasi pulmoner akibat asprasi air
ketuban yang terinfeksi
Mortalitas
fetal dibawah 15%. Prognosis dahulu jelek, khususnya akibat kelahiran traumatic
dengan forceps yang sering dilakukan sebelum serviks terbuka penuh dan dengan
kepala bayi yang belum masuk panggul. Perbaikan pada hasil hasil persalinan
disebabkan oleh :
1)
diagnosis dini kerja uterus yang tidak
efektif
2)
ekstraksi forceps pada waktu yang lebih
tepat
3)
bertambahnya penggunaan sectio caesarea
4)
anastesi lebih baik
5)
diagnosa dini hipoksia janin dengan
monitoring elektronik denyut jantung janin
Lingkaran Retraksi dan Lingkaran Kontriksi
Lingkaran Retraksi
Bila retraksi rahim berlebihan waktu persalinan misalnya karena rintangan
jalan lahir maka terjadilah lingkaran retraksi patologis atau lingkaran bandl.
Adanya lingkaran bandl merupakan gejala ancaman robekan rahim. Lingkaran
bandl terjadi jika ketuban sudah pecah, pembukaan sudah lengkap dan bagian
depan tidak dapat maju. Terjadi misalnya pada kesempitan panggul,
hydrocephalus, kelainan presentasi atau posisi : letak lintang, letak dahi.
Gejala ancaman robekan rahim ialah :
1.
Lingkaran retraksi naik sampai sedikit di bawah pusat
atau lebih tinggi
2.
His kuat, sampai tetania uteri
3.
Ligamenta rotunda tegang juga di luar his, sehingga dapat
teraba dari luar
4.
Nyeri spontan dan nyeri tekan di atas simfisis karena
regangan sbr. Mula-mula sewaktu his, kemudian juga di luar his
5.
Pasien gelisah dan nadi cepat
6.
Terdapat darah dalam urine karena tekanan atau regangan
vesica urinaria.
Lingkaran kontriksi
Lingkaran kontriksi adalah kekejangan melingkar dari sebagian otot rahim
dan dapat terjadi pada kala I, II maupun III. Pada letak kepala lingkaran ini
menjepit anak antara kepala dan bahu. Lingkaran kontriksi menghalangi turunnya
anak sehingga menyebabkan dystocia. Tempat lingkaran tidak berubah, berlainan
dengan lingkaran retraksi yang naik dengan majunya persalinan. Lingkaran ini
tidak mengakibatkan ruptur uteri dan disebabkan karena his yang tidak
terkoordinasi.
Pada umumya hanya dapat diraba dengan pemeriksaan dalam walaupun ada
kalanya dapat diraba dari luar.
Perbedaan antara :
Lingkaran kontriksi
|
Lingkaran retraksi patologis
|
Merupakan kekejangan otot melingkar rahim pada suatu
tempat
|
Selalu terdapat pada batas antara segmen bawah dan
segmen atas rahim
|
Tempat lingkaran lebih tebal daripada daerah di atas
atau di bawahnya
|
Dinding rahim di atas lingkaran lebih tebal dari
dinding rahim di bawah lingkaran
|
Dinding rahim di bawah lingkaran tidak teregang
|
Dinding rahim di bawah lingkaran sangat teregang
|
Dapat terjadi dalam Kala I, II dan III
|
Selalu terjadi dalam kala II
|
Tidak berubah tempat
|
Berangsur naik ke atas
|
Jarang teraba dengan palpasi luar
|
Teraba dengan palpasi
|
Keadaan umum pasien cukup baik
|
Keadaan umum pasien buruk
|
Sebab : selaput janin robek sebelum waktunya ; tindakan
intrauterin
|
Sebab : bagian depan anak terhalang kemajuannya
|
f.
Patofisiologi
Tonus otot uterus
yang menarik menyebabkan rasa nyeri yang lebih keras dan lama bagi ibu dan
dapat pula menyebabkan hipoksia pada janin. His jenis ini juga disebut sebagai
uncoordinated hypertonic uterin contraction. Kadang-kadang pada persalinan lama
dengan ketuban yang sudah lama pecah, kelainan his ini menyebabkan spasmus
sirkuler setempat, sehingga terjadi penyempitan kavum uteri pada tempat itu.
Ini dinamakan lingkaran kontraksi. Lingkaran ini dapat terjadi dimana-mana,
akan tetapi biasanya ditemukan pada batas antara bagian atas dan segmen bawah
uterus. Lingkaran konstruksi tidak dapat diketahui dengan pemeriksaan dalam,
kecuali kalau pembukaan sudah lengkap, sehingga tangan dapat dimasukkan ke
dalam kavum uteri. Oleh sebab itu jika pembukaan belum lengkap,biasanya tidak
mungkin mengenal kelainan ini dengan pasti. Adakalanya persalinan tidak maju
karena kelainan pada serviks yang dinamakan distosia servikalis. Kelainan ini
bisa primer atau sekunder. Distosia servikalis dinamakan primer kalau servis
tidak membuka karena tidak mengadakan relaksasi berhubung dengan incoordinate
uterin action.
g.
Penatalaksanaan
1)
Anamnesa
ibu mengatakan merasa
kesakitan yang luar biasa, merasa cemas.
2)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik memperlihatkan:
a)
Dilakukan observasi pasien yang berhubungan
dengan keadaan umumnya, besarnya rasa nyeri dan derajat kemajuan persalinan
b)
Uterus dipalpasi untuk menentukan tipe dan
beratnya kontraksi
c)
Pemeriksaan vaginal memperlihatkan posisi,
stasiun, ukuran caput, kondisi serviks, adanya cincin kontriksi dan setiap
disproporsi
d)
Pada kasus-kasus yang meragukan dilakukan
pemeriksaan sinar X untuk menyingkirkan diproporsi fetopelvik atau posisi
abnormal
3)
Pengelolaan Kasus
Pencegahan
a)
Perasaan takut diatasi dengan prewatan
prenatal yang baik
b)
Analgesi digunakan jika perlu untuk
mencegah hilangnya pengendalian
c)
Sedasi berat diberikan pada persalinan palsu
agar pasien tidak kecapaian ketika benar-benar menjalani persalinan yang
sesungguhnya.
Tindakan
Umum :
a)
Semangat pasien harus dipertahankan
b)
Infuse dilakukan untuk memberikan cairan
atau hidrasi. Larutan menyediakan kalori dan mencegah terjadinya asidosis
c)
Kandung kemih harus dikosongkan bilamana
perlu
d)
Terapi antibacterial dilakukan jika ada
indikasi
Sedasi
dan Analgesi
Meskipun sedasi dengan jumlah yang berlebihan dapat
merintangi uterus berkontraksi, penggunaan sedasi yang tepat tidak akan
mengganggu persalinan yang sebenarnya. Pasien memerlukan sedasi untuk meredakan
kecemasannya dan memerlukan analgesi untuk mengatasi rasa nyeri. Seringkali
sedasi dan istirahat dapat mengubah persalinan yang buruk menjadi persalinan
yang lebih baik. Analgesi epidural lumbalis yang kontinyu sering efektif untuk
memperbaiki koordinasi uterus.
Stimulasi
Uterus
Uterus harus dirangsang hanya dalam kondisi
hipotonik. Jika uterus berada dalam keadaan hipertonik, stimulasi akan
memperburuk keadaan. Metode stimulasi :
a)
Menyuruh pasien berjalan-jalan untuk
mempertahankan bagian terendah tetap pada serviks
b)
Pemberian oksitosin yang sebaiknya
diencerkan dengan cairan infuse
c)
Ketuban dipecah (artificial rupture)
Tindakan
Operatif
a)
Bila kepala janin sudah rendah dan serviks
telah menipis, bisa dilakukan dilatasi serviks secara manual dan bibir
anteriornya didorong melewati kepala janin
b)
Rotasi dan ekstraksi dapat dilakukan dengan
forceps bilamana serviks benar-benar terbuka penuh. Tindakan ini tidak boleh
ditunda sampai keadaan ibu dan janin menjadi jelek.
c)
Saat ini semakin sering dilakukan sectio
caesarea. Tindakan ini lebih aman bagi ibu dan anak dibanding kelahiran
traumatic pervaginam
Cincin
Konstriksi
Obat-obat
yang melemaskan otot rahim dan anestesi yang dalam dapat dicoba. Jika percobaan
ini berhasil melepaskan konstriksi, janin diekstraksi dengan forceps. Akan
tetapi, kemungkinan section caesarea merupakan metode pilihan.
Cincin
retraksi patologis dari bandl
Karena
masalah utamanya adalah disproporsi cephalopelvik, maka section caesarea
merupakan terapi yang tepat. Jika bayinya sudah mati bisa dipertimbangkan
tindakan craniotomy.
Distocia
Servikalis
a)
Section caesarea merupakan prosedur pilihan
bila serviks tidak mengadakan dilatasi
b)
Dilatasi secara manual atau insisi pada
serviks kadang-kadang dilakukan.
C.
Management
Kebidanan (SOAP)
No
Registrasi : 258311/0312
Nama
Provider : Bd. B
Hari/Tanggal : Kamis, 13 Januari 2011
Waktu
pemberian asuhan : Pukul 10.00 WIB
Tempat
pemberian asuhan : Ruang periksa RB.
Selalu Sehat
A. Subjektif
1.
Identitas
|
Klien
|
Suami
Klien
|
Nama
|
Ny.
Laksmi
|
Tn.
Badrun
|
Umur
|
36
tahun
|
35
tahun
|
Pekerjaan
|
Ibu
Rumah Tangga
|
Pegawai
swasta
|
Agama
|
Islam
|
Islam
|
Pendidikan
Terakhir
|
SMA
|
SMA
|
Suku
Bangsa
|
Sunda/Indonesia
|
Sunda/Indonesia
|
Golongan
Darah
|
B
|
A
|
Alamat
|
Jln.
Pahlawan
No.07 Rt.06/05 Bandung
|
2.
Keluhan Utama :
Ibu merasa mules-mules sejak jam 04.00 wib
dan sudah keluar lendir.
3.
Riwayat Kesehatan
Ibu
mengatan
4.
Riwayat Kehamilan Sekarang
G1P0A0
a.
HPHT : 20 Mei 2010
b.
HTP : 27 Februari 2011
c.
Umur kehamilan : 37 minggu
d.
Imunisasi : TT1 dan TT2 telah diberikan
e.
Gerakan Janin : Dirasakan pertama kali saat usia
kehamilan 4 bulan dan sampai saat ini ibu masih dapat merasakannya
f.
Penggunaan obat selama
hamil :Ibu
mengatakan tidak mengonsumsi obat-obatan selain yang diberikan oleh bidan
5. Riwayat
KB terakhir : Kondom
6. Riwayat
Menstruasi Menarche :
a. Usia
menstruasi :
10 tahun
b. Lama
menstruasi : 5-6 hari
c. Siklus
menstruasi : 28 hari
d. Banyaknya : Pada hari pertama sampai hari ke-3
ganti pembalut sebanyak 3x sehari dan hari ke-4 sampai selesai ganti pembalut
sebanyak 2x sehari
e. Dismenorrhoe : Ibu mengatakan tidak ada keluhan
dismenorrhoe
f. Keputihan : Ibu mengatakan sedikit, berwarna
bening keputihan dan tidak gatal
7.
Riwayat Sosial Budaya
a. Status
pernikahan :
menikah
b. Pernikahan
ke – :
1
c. Respon
keluarga thd kehamilan :sangat mendukung
d. Pengambil
keputusan : suami
e. Kebudayaan
yg berkaitan dg kehamilan : tidak ada
f. Rencana
Bersalin
·
Tempat :
Bidan Praktek Swasta
·
Penolong :
Bidan
·
Pendamping : Suami
·
Pendonor darah : Ayah klien
8.
Aktifitas Sehari – hari
a. Pola
makan dan minum :
Ibu makan 3x sehari dengan selingan 2x Ibu minum ± 7 gelas sehari
b. Pola
Eliminasi : Ibu mengaku sering
BAK
Ibu mengaku sulit
BAB, hanya 2 hari
sekali
c. Pola
istirahat dan tidur : Ibu tidur ± 7 jam
sehari dan mengaku jarang tidur siang
d. Personal
Hygiene : Ibu mandi 2x sehari dan
mengganti celana dalamnya 2x sehari
e. Hubungan
Sexual : Ibu mengaku terakhir
berhubungan seksual sebulan yang lalu
B. Objektif
1.
Keadaan Umum : Baik
2.
Kesadaran
: Compos Mentis
3.
Pemeriksaan Tanda-tanda Vital
a.
Suhu : 37,10C
b.
Nadi : normal, takikardi
c.
Respirasi : terjadi hiperventilasi
d.
Tekanan darah : 120/80mmHg
4.
Pemeriksaan Antropometri
Tinggi
Badan : 159 cm, IMT = 22,5
(Normal)
BB sekarang : 61 kg
BB sebelum hamil : 57 kg
5.
Pemeriksaan Fisik
a.
Kepala dan Leher
Sklera : berwarna putih
Konjungtiva : berwarna merah muda
Mulut dan Gigi : tidak ada lesi, bibir sedikit pucat dan
kering, gigi tidak
berlubang, tidak ada
karang gigi, lidah bersih dan tidak
sariawan
Kelenjar Tiroid : tidak ada pembengkakan
b. Payudara : simetris, bersih, puting menonjol,
tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan
c. Abdomen
TFU : 32 cm
Leopold I : bagian lunak, bundar,
tidak melenting
Leopold II : bagian keras memanjang
sepeti papan di sebelah kiri
Leopold III : bagian bulat, keras, dan melenting
Leopold IV : konvergen
DJJ : 134x/menit, reguler
HIS : 3 x 10’ / 40’’,
Kandung kemih : kosong
TBBJ : (32-13)x155=2945
d. Genitalia : tidak ada varises pada vulva dan
vagina, bersih, tidak ada keputihan, tidak ada tanda-tanda infeksi menular
seksual, portio tebal lunak, pembukaan serviks 3 cm, ketuban utuh, presentasi
kepala.
e. Ekstremitas
Atas : tidak ada udema,
bentuk simetris, jari-jari kuku
tidak
sianosis
Ekstremitas Bawah : refleks patella +/+, tidak ada udema
dan
Tidak
varises,
f. Pemantauan
Kala I
Tanggal
|
Wak
tu
|
Pembukaan
|
DJJ
|
Kontraksi uterus
|
TD
|
Pols
|
Temp
|
RR
|
Penurunan kepala
|
12-1-2011
|
10.00
11.00
12.00
13.00
14.00
14.30
15.00
15.30
16.00
16.30
17.00
17.30
18.00
|
3 cm
4 cm
6 cm
|
130 x/mnt
130 x/mnt
135 x/mnt
140 x/mnt
140 x/mnt
135 x/mnt
144 x/mnt
140 x/mnt
130 x/mnt
|
3 x dlm 10 mnt, lama 20-40 dtk
3 x dlm 10 mnt, lama 20-40 dtk
3 x dlm 10 mnt, lama 20-40 dtk
3 x dlm 10 mnt, lama 20-40 dtk
4 x dlm 10 mnt, lama > 40 dtk
4 x dlm 10 mnt, lama > 35 dtk
4 x dlm 10 mnt, lama > 30 dtk
3 x dlm 10 mnt, lama 20-40 dtk
3 x dlm 10 mnt, lama 20-40 dtk
|
110/70
110/80
120/80
|
80
80
78
80
85
85
80
80
88
|
370C
36,50C
|
20 x/mnt
20 x/mnt
20 x/mnt
19 x/mnt
20 x/mnt
18 x/mnt
18 x/mnt
19 x/mnt
18 x/mnt
|
4/5
3/5
|
6.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
·
Hb : 11,5 gr/dl
C. Analisis
G1P0A0
parturien aterm dengan keadaan ibu mengalami persalinan lama dan janin tunggal,
hidup, intra uterine dengan keadaan janin baik
Masalah potensial :bagi ibu yaitu infeksi, kelelahan
karena partus lama, trauma psikologis, meningkatnya resiko persalinan dengan
SC. Bagi janin yaitu fetal distress, kematian janin.
D. Penatalaksanaan
1.
Memberitahukan hasil
pemeriksaan kepada ibu bahwa ibu mengalami persalinan lama dan belum mengalami
kemajuan pembukaan yang tidak bisa ditangani oleh bidan.
Evaluasi: Ibu dan keluarga mengerti akan
keadaan
2.
Melakukan informed consent
kepada Ibu dan keluarga
Evaluasi: Ibu bersedia untuk di rujuk ke
rumah sakit
3.
Menyiapkan partus set dan
obat-obatan
4. Menyiapkan alat resusitasi
uterine: memposisikan ibu dalam keadaan tidur miring ke kiri, menyiapkan
oksigen, dan menyiapkan infuse set.
Evaluasi: Alat telah tersedia
5.
Menyiapkan rujukan:
Kendaraan, surat rujukan, dan donor darah.
DAFTAR
PUSTAKA
Kenneth, J. Levenn.2009.Obstetri Williams. Jakarta : EGC.
Varney, Helen, dkk. 2007. Buku Ajar
Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.
Yulianti, Lia,dkk.2010.Asuhan Kebidanan IV. Jakarta : Trans Info Media.
Varney,
Hellen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan
Vol.1. Jakarta: EGC.
Oxorn, Harry and Forte, William R. 2010.
Ilmu Kebidanan:Patologi dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta: penerbit ANDI.
Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNPAD. 1984. Obstetri
Patologi. Bandung : Elstar Offset.
No comments:
Post a Comment